Selamat Datang di Nara Kata Media

Sajian Sastra, Budaya, dan Pemikiran Kritis

Widget HTML #1



Ahmad Fahrizal Aziz, Pena dari Kota Kecil yang Tak Pernah Lelah Menulis




Di sebuah rumah sederhana di kawasan Kademangan, Kabupaten Blitar, seorang pria kerap duduk di depan laptop tuanya menjelang malam. 

Sambil ditemani secangkir kopi, Ahmad Fahrizal Aziz mengetik kalimat demi kalimat yang kadang reflektif, kadang tajam, tapi selalu menyentuh realitas.

“Menulis itu cara saya berdialog dengan kehidupan,” katanya suatu kali.

“Kata-kata bisa membuat orang berpikir, bahkan ketika kita tak hadir di sana.”

Fahrizal bukan sekadar penulis. Ia jurnalis, guru, dan penggerak literasi yang menjadikan kota kecil Blitar sebagai sumber inspirasinya. 

Di tengah gempuran media sosial dan konten instan, ia tetap setia pada kekuatan tulisan yang lahir dari pengamatan dan empati.

Akar yang Tumbuh di Tanah Literasi

Lahir pada 10 Mei 1992 di Kota Blitar, Fahrizal menghabiskan masa kecilnya di lingkungan yang akrab dengan tradisi membaca. 

Ia bersekolah di SDN Kademangan 03, lalu melanjutkan ke MTsN dan MAN Kota Blitar. 

Di sekolah menengah inilah, minatnya pada dunia bahasa mulai tumbuh.

Ketika banyak anak seusianya sibuk mengejar tren, Fahrizal justru lebih sering menekuri buku-buku sastra dan majalah lama. 

Ia kemudian melanjutkan studi ke Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Masa kuliah membuka ruang bagi bakat menulisnya: bergabung di organisasi, menulis di buletin kampus, dan aktif berdiskusi soal sosial dan budaya.

“Blitar itu kecil, tapi penuh cerita,” ujarnya dalam salah satu tulisannya di blog pribadinya, www.jurnalrasa.my.id

Blog itu kini menjadi rumah bagi ratusan esai dan catatan reflektif tentang kehidupan, pendidikan, hingga seluk-beluk budaya lokal.



Dari Kelas ke Redaksi, Perjalanan Dua Dunia

Setelah lulus, Fahrizal menapaki dua jalur yang saling beririsan: pendidikan dan jurnalistik. 

Ia menjadi guru, tapi sekaligus terus menulis di berbagai media. Ia percaya keduanya bukan profesi yang berbeda jauh. 

“Mengajar dan menulis sama-sama mengasah nalar,” katanya. 

“Bedanya, di kelas saya bicara pada murid, di tulisan saya bicara pada publik.”

Kini, ia dikenal sebagai jurnalis sekaligus pimpinan redaksi di blitarmu.id, sebuah media lokal yang ia rintis. 

Selain itu, ia juga mengelola Insight Blitar Media dan Narakata Media. Di tengah kesibukannya, ia masih rutin membimbing kelas menulis untuk pelajar dan komunitas.

Sejak 2017, ia menjadi mentor di Forum Lingkar Pena (FLP) Blitar. Dari tangannya lahir banyak penulis muda yang kini mulai dikenal di dunia literasi. 

“Saya tidak ingin mereka hanya menulis status, tapi menulis gagasan,” ujarnya suatu ketika dalam sesi pelatihan.

Jejak di Dunia Literasi

Nama Fahrizal mulai dikenal luas setelah tulisannya muncul di berbagai media nasional: Kompas, Jawa Pos, Koran Pendidikan, Surya, Horison, dan Story

Ia menulis dengan gaya yang khas—menggabungkan kesederhanaan narasi dengan pengamatan tajam terhadap realitas sosial.

Tulisan-tulisannya jarang menggurui. Ia lebih suka mengajak pembaca merenung, bahkan melalui kisah paling sepele.

Selain karya tunggal, ia juga turut menulis dalam sejumlah antologi: Jejak² Kota Kecil, Mengakrabi Sunyi, Cerita Setelah Fajar, dan Dari Blitar untuk Indonesia

Ia bahkan ikut menyusun buku sejarah Pemilu Kota Blitar—sebuah proyek dokumentatif yang menandai kepeduliannya pada dinamika politik lokal.



Menjadi Penggerak Komunitas

Selain menulis, Fahrizal juga dikenal sebagai penggerak komunitas. Ia aktif di berbagai organisasi sejak mahasiswa: dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Malang hingga Paguyuban Srengenge di Blitar. 

Kini, ia menjabat di Majelis Pendidikan Kader (MPKSDI) PDM Kabupaten Blitar dan Sekretaris PDPM setempat.

Perannya bukan sekadar administratif. Ia kerap menjadi narasumber dalam pelatihan dan seminar di sekolah maupun instansi pemerintah. 

Ia diundang berbicara di Perpustakaan Bung Karno dalam diskusi “Bung Karno dan Islam”—bagian dari program Bung Karno Penggerak Literasi Bangsa

Setelah itu, undangan serupa datang dari berbagai lembaga, termasuk Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Blitar.

Ia terlibat aktif dalam program Kelas Literasi Digital (2021–2022) dan Bimtek Penulisan Konten Budaya Lokal (2025). 

Semua itu menunjukkan satu hal: bahwa di balik sosok yang tenang dan humoris, tersimpan semangat untuk membangun ekosistem literasi dari akar rumput.



Menulis Sebagai Laku Hidup

Di sela aktivitas padatnya, Fahrizal masih rutin menulis di blog pribadinya. Ia menyebut kegiatan itu sebagai “ibadah intelektual”—cara sederhana untuk menjaga kesadaran dan menebar manfaat.

“Tulisan yang baik bukan yang paling banyak dibaca,” tulisnya dalam salah satu artikelnya, “tapi yang membuat seseorang berhenti sejenak dan berpikir.”

Kalimat itu seperti merangkum filosofi hidupnya: bahwa menulis bukan untuk ketenaran, melainkan untuk kejujuran.

Di dunia yang kian bising oleh suara-suara digital, sosok seperti Ahmad Fahrizal Aziz mengingatkan bahwa kata-kata masih punya tempat, sepanjang ditulis dengan hati.