Tiga Cara Mengatasi Writer’s Block
Beberapa hari lalu, aku duduk di depan laptop selama dua jam, menatap kursor yang berkedip seperti detak jantung orang gelisah.
Tak ada satu kalimat pun keluar. Hanya deru kipas laptop dan suara ayam tetangga yang entah kenapa berkokok pukul sepuluh pagi.
Aku tahu, saat itu aku sedang terkena penyakit lama, writer’s block, macet menulis.
Para ahli psikologi menyebutnya sebagai gangguan sementara dalam proses kognitif yang berkaitan dengan produksi ide dan emosi.
Menurut Rose & Cardell (2020) di Journal of Creative Behavior, writer’s block sering muncul ketika seseorang mengalami tekanan berlebih pada sistem prefrontal otak, bagian yang mengatur fokus, keputusan, dan ekspresi diri.
Dengan kata lain, otakmu sedang menolak bekerja sama. Ia ingin istirahat, sementara kamu memaksa.
Aku menutup laptop dan berdiri. “Baiklah,” kataku pada diriku sendiri, “kita buntu. Tapi bukan berarti kita gagal.”
Maka aku melakukan hal paling sederhana yang kupikir bisa kulakukan, yaitu peregangan.
Aku menarik napas panjang, mengangkat tangan tinggi-tinggi, lalu menunduk perlahan.
Terasa ada sesuatu yang bergeser di punggung, mungkin bukan otot, mungkin beban.
Gerakan sederhana ini, menurut Harvard Health Publishing (2022), meningkatkan sirkulasi darah ke otak dan memperbaiki suplai oksigen yang menurunkan kadar kortisol, hormon stres.
Sesuatu di kepalaku mulai terasa longgar. Mungkin ide tidak perlu dikejar, cukup diundang pelan-pelan, seperti kucing yang dibiarkan datang sendiri ketika kita pura-pura tak memperhatikannya.
Setelah peregangan, aku keluar rumah. Jalan kaki sebentar, hanya lima belas menit.
Udara pagi menampar lembut wajahku. Di depan rumah, tanaman bunga telangku merambat di tembok.
Aku menyentuh daunnya. Ada semut kecil berjalan di sana, tampak sibuk seperti jurnalis menjelang deadline.
Aku teringat tulisan Kaplan & Kaplan (1989) tentang Attention Restoration Theory, teori yang menjelaskan bahwa aktivitas ringan di alam, seperti berkebun atau berjalan di antara pepohonan, dapat memulihkan perhatian manusia yang terkuras oleh aktivitas mental berat.
Penulis, rupanya, bukan makhluk yang hanya hidup di kepala, tubuh juga perlu terlibat.
Mungkin karena itu banyak penulis besar suka berkebun. Hemingway memancing, Kawabata bermain go, dan Sapardi Djoko Damono menulis puisi sambil menatap pohon hujan yang sama setiap pagi.
Ketika aku menyiram tanaman-tanaman kecil di pot, air menetes seperti ide-ide yang dulu juga jatuh pelan, tak deras, tapi cukup untuk menumbuhkan sesuatu.
Aku tak sedang menulis, tapi rasanya seperti menulis dengan cara lain.
Setiap daun yang basah seolah menyalin kembali kesabaran yang dulu hilang karena tergesa-gesa mengejar inspirasi.
Setelah tubuh bergerak dan udara segar menyalakan ulang sistem berpikirku, aku masuk kembali ke rumah.
Aku membuka rak buku, menarik salah satu buku lama, Lelaki Tua dan Laut. Kubaca satu paragraf, lalu satu halaman, lalu beberapa lagi.
Membaca karya penulis favorit seringkali bukan untuk meniru, melainkan untuk merangsang otak kita.
Penelitian Mar et al. (2011) di Annual Review of Psychology menunjukkan bahwa membaca fiksi memperkuat kemampuan otak dalam empati dan asosiasi memori.
Artinya, membaca bisa menyalakan kembali jembatan antara emosi dan bahasa, dua hal yang paling dibutuhkan penulis.
Setiap kata Hemingway seakan membuka pintu kecil di kepalaku yang tadinya terkunci.
Aku tak tahu bagaimana, tapi kursor yang tadi diam kini bergerak.
Kalimat pertama muncul seperti hujan pertama di musim kemarau, tidak banyak, tapi cukup membuat tanah beraroma.
Kadang, untuk menulis, kita tak perlu duduk memaksa diri di depan layar selama berjam-jam.
Kita hanya perlu bergerak sedikit, melihat sekitar, dan membaca sesuatu yang membuat hati bergetar lagi.
Writer’s block bukan musuh, ia cuma tanda bahwa kita manusia, bukan mesin ide. [Farhan Abdillah]

Posting Komentar untuk "Tiga Cara Mengatasi Writer’s Block"
Posting Komentar