Pandangan Megawati Soekarnoputri Soal Kelapa Sawit
Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia ke-5 sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, dikenal lantang dalam isu lingkungan.
Salah satu topik yang paling sering ia soroti adalah industri kelapa sawit—komoditas besar Indonesia yang tak lepas dari kritik soal deforestasi dan kerusakan ekosistem.
Sikap Megawati konsisten sejak masa kepresidenannya hingga sekarang, sawit boleh tumbuh sebagai industri, tapi tidak boleh merusak bumi.
Berikut rangkuman pandangan lengkap Megawati yang semakin relevan di tengah perdebatan global mengenai keberlanjutan sawit.
Menyebut Sawit Sebagai “Tanaman Arogan”
Dalam berbagai kesempatan, Megawati menyebut kelapa sawit sebagai tanaman “arogan”. Istilah ini merujuk pada karakter monokultur sawit yang kerap menghabiskan keanekaragaman hayati.
Menurutnya, ekspansi kebun sawit sering menjadi simbol pembangunan yang rakus:
- hutan ditebang besar-besaran,
- tanah makin miskin hara,
- ekosistem alami rusak,
- dan muncul ketergantungan besar pada pupuk serta bahan kimia.
Ia juga menyinggung bahwa praktik perkebunan sawit sering berhubungan dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Dalam pengarahan kepada calon kepala daerah PDIP pada Agustus 2020, Megawati tegas berkata bahwa sawit “sangat-sangat merusak tanah”.
Pernyataan ini kerap diulang dalam berbagai forum internal PDIP hingga tahun 2025, menegaskan bahwa isu sawit baginya bukan sekadar ekonomi, melainkan juga keselamatan lingkungan.
Menolak Penambahan Konsesi Sawit
Megawati juga menolak ekspansi lahan sawit, terutama konsesi baru untuk korporasi besar. Sikap ini terinspirasi dari ajaran ayahnya, Soekarno, yang menolak pemberian konsesi hutan kepada perusahaan besar.
Ia ingin pembangunan berdiri di atas prinsip “merawat pertiwi”. Prinsip ini menjadi kultur PDIP: menjaga keseimbangan alam, menanam pohon, dan tidak mengorbankan hutan demi keuntungan sesaat.
Menurut penjelasan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Megawati konsisten mengingatkan partai agar tidak menutup mata terhadap konversi hutan menjadi sawit yang dianggapnya sebagai bentuk “kapitalisasi kekuasaan politik”.
Sawit Boleh, Asal Tidak Merusak Hutan
Meski sering mengkritik, Megawati bukan anti-sawit total. Ia mengakui bahwa sawit adalah komoditas ekonomi penting. Namun ia menekankan dua syarat besar:
- Sawit harus ditanam di lahan yang tidak merusak hutan.
- Tidak boleh menggusur tanah adat atau tanah subur.
Megawati juga mendorong masyarakat adat—terutama komunitas Dayak—untuk menjaga hutan sebagai sumber pangan, obat, dan kehidupan. Baginya, hutan bukan sekadar ruang kosong yang bisa diganti dengan monokultur sawit.
Konflik sosial yang muncul akibat perluasan sawit—mulai dari perebutan lahan hingga hilangnya ruang hidup masyarakat—menjadi alasan lain mengapa ia “menggarisbawahi” aturan ketat untuk industri ini.
Bagian dari Gerakan Besar, Anti Penebangan Liar dan Perlindungan Ekologi
Kritik Megawati soal sawit sejalan dengan komitmennya terhadap isu lingkungan selama puluhan tahun. Ia kerap mengkampanyekan:
- anti illegal logging,
- anti tambang merusak,
- serta pelestarian hutan adat.
Pandangannya juga semakin kontras dengan narasi pemerintah saat ini yang menyebut sawit sebagai “anugerah Tuhan” untuk perkembangan biodiesel. Megawati tetap menempatkan keberlanjutan dan ekologi sebagai prioritas utama.
Di berbagai media lingkungan, pandangan Megawati digambarkan sebagai suara penting dalam memperingatkan risiko monokultur dan mendorong keseimbangan antara ekonomi dan keberlanjutan.
Kritik yang Semakin Penting di Era Krisis Iklim
Pandangan Megawati Soekarnoputri tentang kelapa sawit bukan hanya kritik politik, tapi ajakan menjaga bumi. Ia tidak menolak sawit, namun menolak sawit yang merusak.
Pesannya sederhana, Indonesia harus maju secara ekonomi tanpa mengorbankan hutan dan tanah adat. []

