Mengenal Wahabi
Gema Puritanisme di Khatulistiwa. Jejak, Pengaruh, dan Perdebatan Wahabisme di Indonesia
Sebuah gerakan pemurnian yang lahir di gurun Arab abad ke-18 kini telah menjadi salah satu arus ideologi paling diperdebatkan dalam lanskap keislaman Indonesia.
Sejarahnya yang panjang, berkelindan dengan politik dan kekuasaan, serta benturannya dengan tradisi lokal, terus membentuk wajah Islam di Nusantara hingga hari ini.
Di ruang-ruang diskusi, dari mimbar masjid hingga linimasa media sosial, istilah "Wahabi" kerap terdengar nyaring.
Bagi sebagian, ia adalah label tuduhan yang dilayangkan kepada kelompok yang dianggap kaku dan anti-tradisi.
Bagi yang lain, ia adalah panji pemurnian, sebuah upaya mulia untuk mengembalikan Islam pada kemurniannya yang hakiki.
Terlepas dari pro dan kontra, kehadiran pemikiran yang berakar dari gerakan Wahabisme telah menjadi fakta sosial dan keagamaan yang tak terhindarkan di Indonesia.
Untuk memahami riak-riak yang ditimbulkannya di Nusantara, kita perlu menarik mundur jarum jam sejarah, kembali ke lanskap tandus Jazirah Arab lebih dari dua setengah abad yang lalu.
Akar Sejarah, Lahirnya Gerakan di Tengah Gurun Pasir
Pada pertengahan abad ke-18, seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) memulai dakwahnya di wilayah Najd, Jazirah Arab.
Ia diliputi keprihatinan mendalam terhadap apa yang dilihatnya sebagai dekadensi moral dan penyimpangan akidah di tengah masyarakatnya.
Praktik-praktik seperti pemujaan makam orang-orang suci, meminta perantaraan kepada wali, dan kepercayaan pada jimat serta benda keramat dianggapnya sebagai bentuk syirik (penyekutuan Tuhan) yang menggerogoti pilar utama Islam: Tauhid, atau keesaan Tuhan yang absolut.
Misi Ibnu Abdul Wahhab sederhana namun radikal: membersihkan Islam dari segala praktik yang dianggapnya sebagai bid'ah (inovasi dalam ibadah) dan mengembalikannya pada ajaran murni sesuai Al-Qur'an dan Sunnah (praktik Nabi Muhammad), sebagaimana dipahami oleh tiga generasi pertama Muslim—kelompok yang dikenal sebagai Salaf al-Salih.
Karena rujukan inilah, para pengikutnya lebih suka disebut "Salafi" (pengikut salaf) atau "Muwahhidun" (orang yang mengesakan Tuhan), dan sering kali menolak label "Wahabi" yang diberikan oleh para penentangnya.
Gerakan ini mungkin akan tetap menjadi fenomena lokal jika bukan karena sebuah aliansi strategis pada tahun 1744. Ibnu Abdul Wahhab menjalin kesepakatan dengan penguasa lokal Diriyah, Muhammad bin Saud.
Ibnu Saud menawarkan perlindungan politik dan kekuatan militer, sementara Ibnu Abdul Wahhab memberikan legitimasi keagamaan.
Simbiosis mutualisme ini melahirkan Negara Saudi Pertama dan menjadi fondasi bagi Kerajaan Arab Saudi modern, di mana ajaran Wahabi menjadi ideologi resmi negara.
Kekuatan politik dan dakwah menjadi dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Gelombang Pertama, Gema Puritanisme Mencapai Nusantara
Gema gerakan pemurnian dari Jazirah Arab akhirnya sampai ke kepulauan Nusantara yang jauh.
Gelombang pengaruh pertama tercatat pada awal abad ke-19, dibawa oleh para perantau dari Minangkabau, Sumatera Barat, yang baru pulang menunaikan ibadah haji.
Sekitar tahun 1803, tiga tokoh yang dikenal sebagai "Tiga Haji"—Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang—kembali ke tanah air.
Saat berada di Mekkah, mereka menyaksikan langsung dominasi dan semangat gerakan Wahabi yang sedang gencar-gencarnya. Mereka terinspirasi.
Setibanya di Minangkabau, mereka terkejut melihat praktik-praktik lokal yang kini mereka anggap bertentangan dengan syariat, seperti sabung ayam, perjudian, serta kuatnya hukum adat yang tidak selaras dengan ajaran Islam.
Mereka pun memulai gerakan purifikasi yang dikenal sebagai Gerakan Paderi. Konflik tak terhindarkan. Pertentangan meletus antara "Kaum Padri" yang agamis dan puritan melawan "Kaum Adat" yang mempertahankan tradisi leluhur.
Konflik internal ini kemudian berkembang menjadi Perang Paderi (1803-1837), sebuah perang saudara berkepanjangan yang semakin rumit dengan intervensi kolonial Belanda.
Penting untuk digarisbawahi, Gerakan Paderi bukanlah "cabang" resmi Wahabi. Ia adalah gerakan lokal yang terinspirasi oleh semangat pemurnian yang sama.
Ia menunjukkan bagaimana sebuah ide global dapat diserap dan diadaptasi untuk menjawab persoalan-persoalan lokal, meskipun dengan konsekuensi yang berdarah.
Gelombang Kedua, Institusionalisasi di Era Modern
Setelah Perang Paderi, pengaruh ideologi ini meredup selama lebih dari satu abad. Namun, ia kembali dengan kekuatan yang jauh lebih besar pada paruh kedua abad ke-20.
Jika gelombang pertama adalah soal inspirasi sporadis, gelombang kedua adalah tentang penyebaran yang sistematis, terstruktur, dan didanai dengan baik.
Pemicunya adalah ledakan harga minyak pada dekade 1970-an. Dengan kekayaan finansial yang melimpah, Kerajaan Arab Saudi meluncurkan kebijakan luar negeri yang bertujuan menyebarkan interpretasi Islam versi mereka ke seluruh dunia.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, menjadi target utama.
Metode penyebarannya beragam dan efektif:
Pendidikan Formal
Pada tahun 1980, didirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta, sebuah cabang dari Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh.
Dengan kurikulum, dosen, dan pendanaan dari Arab Saudi, LIPIA menjadi kawah candradimuka bagi para kader dakwah Salafi di Indonesia.
Beasiswa
Ribuan pelajar dan mahasiswa Indonesia mendapat beasiswa untuk belajar langsung di pusat-pusat keilmuan Salafi, seperti Universitas Islam Madinah.
Sekembalinya ke Indonesia, para alumni ini menjadi ujung tombak penyebaran ajaran melalui ceramah, pesantren, dan lembaga pendidikan yang mereka dirikan.
Dakwah dan Penerbitan
Dana yang besar digelontorkan untuk mendanai yayasan-yayasan dakwah, membangun masjid, serta menerjemahkan, mencetak, dan membagikan secara gratis kitab-kitab karya ulama Wahabi.
Gelombang kedua ini secara sadar mengidentifikasi diri sebagai "Salafi," dan memiliki hubungan organisasional dan ideologis yang jauh lebih kuat dengan pusatnya di Timur Tengah dibandingkan Gerakan Paderi seabad sebelumnya.
Benturan Tak Terhindarkan, Penentangan dari Kubu Tradisionalis
Kehadiran gerakan Salafi-Wahabi yang semakin masif tak pelak menimbulkan gesekan.
Penentangan paling kuat datang dari kubu Islam tradisionalis, yang di Indonesia direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di dunia.
Bagi NU, benturan dengan Wahabisme bersifat fundamental, menyentuh tiga aspek krusial: praktik ibadah (amaliyah), metodologi beragama (manhaj), dan pendekatan terhadap budaya.
Pertama, dalam ranah amaliyah, banyak sekali tradisi yang telah mengakar di kalangan warga NU—seperti tahlilan, perayaan Maulid Nabi, ziarah kubur ke makam para wali, hingga membaca doa qunut saat shalat Subuh—divonis sebagai bid'ah sesat oleh kalangan Salafi.
Apa yang bagi kaum tradisionalis adalah ekspresi cinta pada Nabi dan para ulama, bagi kaum puritan adalah jalan menuju kesesatan.
Kedua, dalam ranah manhaj, NU berpegang teguh pada tradisi bermazhab dalam fikih dan mengikuti teologi Asy'ariyah-Maturidiyah.
Tradisi keilmuan ini dipandang sebagai benteng yang menjaga umat dari penafsiran serampangan.
Sebaliknya, gerakan Salafi menyerukan untuk "kembali langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah," sebuah slogan yang menurut para kiai NU dapat berbahaya jika dilakukan oleh orang awam tanpa perangkat keilmuan yang memadai.
Ketiga, dan mungkin yang paling mendasar, adalah soal budaya. NU, dengan konsep "Islam Nusantara"-nya, memandang Islam sebagai agama yang luwes, mampu berdialog dan berakulturasi dengan budaya lokal.
Bagi NU, Islam tidak datang untuk menghapus budaya, melainkan untuk memperkayanya dengan nilai-nilai tauhid.
Pendekatan Wahabi yang puritan dan terkadang Arab-sentris dianggap sebagai ancaman terhadap kekayaan budaya ini.
KH. Said Aqil Siradj, mantan Ketua Umum PBNU, dalam berbagai kesempatan secara tegas menyatakan bahwa model keberagamaan Wahabi tidak sesuai dengan karakter Indonesia yang toleran dan majemuk.
Kekhawatiran terbesar kubu tradisionalis adalah sikap takfiri, yaitu kecenderungan mudah mengafirkan atau menyesatkan sesama Muslim yang berbeda pandangan.
Selain NU, penentangan juga datang dari kelompok-kelompok tarekat sufi yang ajarannya ditolak mentah-mentah oleh Wahabi, serta dari kalangan akademisi dan budayawan yang khawatir bahwa rigiditas gerakan ini dapat menggerus pilar kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika.
Refleksi, Dua Arus dalam Satu Sungai Keislaman
Kisah Wahabisme di Indonesia adalah cerminan dari pergulatan identitas yang terus berlangsung dalam tubuh umat Islam Nusantara.
Ini adalah narasi tentang bagaimana sebuah ide yang lahir dari konteks spesifik di Jazirah Arab abad ke-18 melakukan perjalanan melintasi ruang dan waktu, lalu berinteraksi—dan sering kali berbenturan—dengan realitas sosial-budaya yang sama sekali berbeda di Asia Tenggara.
Perdebatan ini bukanlah sekadar hitam-putih. Di satu sisi, terdapat arus purifikasi yang membawa semangat untuk memberantas praktik-praktik yang dianggap menyimpang dan mengajak umat untuk kembali pada sumber ajaran yang paling otentik.
Di sisi lain, terdapat arus tradisionalisme yang berusaha mempertahankan warisan keilmuan dan kearifan lokal yang telah terbukti mampu menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam di bumi Nusantara.
Hingga hari ini, kedua arus itu terus mengalir, terkadang tenang berdampingan, namun lebih sering bergejolak dan menciptakan riak-riak yang terasa di seluruh lapisan masyarakat.
Bagaimana Indonesia di masa depan menavigasi dialektika antara purifikasi dan tradisi ini akan sangat menentukan wajah keislaman dan kebangsaan di masa yang akan datang. []
Posting Komentar untuk "Mengenal Wahabi"
Posting Komentar