Relevansi Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” Di Era Sekarang
Buku Pendidikan Kaum Tertindas ditulis lebih dari setengah abad yang lalu oleh seorang filsuf Brasil bernama Paulo Freire, buku ini adalah sebuah gugatan abadi terhadap cara kita memandang pendidikan, sebuah kompas yang relevansinya di Indonesia semakin tajam dan mendesak.
Mengapa gagasan dari tahun 1968 ini masih terasa begitu relevan? Jawabannya terletak pada diagnosis Freire yang brutal dan tawarannya yang radikal. Sebuah diagnosis yang, sayangnya, masih sangat kita kenali dalam denyut nadi pendidikan dan sosial di negeri ini.
Membongkar Penjara Bernama 'Pendidikan Gaya Bank'
Untuk memahami kekuatan buku ini, kita harus terlebih dahulu memahami apa yang dilawannya.
Freire, yang ditempa oleh pengalaman kemiskinan dan ketidakadilan di Brasil, menyaksikan pendidikan bukan sebagai jalan pembebasan, melainkan sebagai alat pelanggengan penindasan.
Ia menamainya "Pendidikan Gaya Bank" (Banking Model of Education). Konsep ini brilian dalam kesederhanaannya.
Bayangkan di sebuah ruang kelas, guru berdiri di depan, bertindak sebagai subjek yang maha tahu. Ia "menabungkan" atau "mendepositokan" serangkaian fakta, tanggal, dan rumus ke dalam kepala para siswa.
Para siswa, di sisi lain, adalah "celengan" atau "wadah kosong", objek pasif yang tugasnya hanya menerima, mencatat, menghafal, dan mengulanginya saat ujian tiba.
Tidak ada ruang untuk bertanya, membantah, apalagi mengkritik.
"Pendidikan Gaya Bank," tulis Freire, adalah praktik dehumanisasi. Ia mematikan nalar kritis, membunuh kreativitas, dan menciptakan individu-individu yang patuh dan mudah dikendalikan.
Dalam sistem ini, siswa yang "baik" adalah siswa yang paling patuh menampung "deposit" dari guru, bukan yang paling kritis dalam berpikir.
Tanpa perlu analisis mendalam, kita bisa melihat bayang-bayang model ini di mana-mana. Mulai dari dril soal Ujian Nasional di masa lalu hingga kultur "yang penting hafal rumus" yang masih membekas di banyak sekolah.
Ia hadir dalam ketakutan siswa untuk bertanya karena dianggap bodoh, dan dalam keengganan guru untuk dieksplorasi pengetahuannya karena merasa otoritasnya terancam.
Model ini, secara sadar atau tidak, melatih warga negara menjadi penerima pasif, bukan partisipan aktif dalam demokrasi.
Tawaran Radikal, Pendidikan sebagai Dialog Pembebasan
Freire tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan sebuah antitesis bernama "Pendidikan Hadap Masalah" (Problem-Posing Education). Jika model "bank" adalah tentang transfer informasi satu arah, model "hadap masalah" adalah tentang dialog dua arah yang setara.
Dalam sistem ini, tembok antara guru dan murid diruntuhkan. Guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, ia adalah "guru-murid".
Sebaliknya, murid dengan segala pengalamannya adalah "murid-guru". Keduanya duduk bersama sebagai rekan untuk menyelidiki masalah-masalah nyata yang ada di sekitar mereka.
Dunia tidak lagi dilihat sebagai teks statis yang harus dihafal, melainkan sebagai sebuah teka-teki besar yang menantang untuk dipecahkan bersama.
Tujuan akhirnya bukan sekadar kelulusan akademis, melainkan conscientização—sebuah kata dalam bahasa Portugis yang sulit diterjemahkan secara harfiah, namun bermakna "kesadaran kritis".
Ini adalah momen pencerahan ketika seseorang tidak hanya sadar akan kondisinya (misalnya, kemiskinan atau ketidakadilan), tetapi juga memahami akar penyebab strukturalnya dan menyadari bahwa ia memiliki kekuatan untuk mengubah realitas tersebut.
Pendidikan menjadi sebuah praxis—siklus berkelanjutan antara refleksi kritis dan aksi transformatif.
Relevansi di Indonesia 2025, Dari 'Merdeka Belajar' hingga Ancaman Hoaks
Gema pemikiran Freire pernah menjadi bahan bakar utama gerakan mahasiswa di penghujung Orde Baru. Namun, signifikansinya hari ini telah bermetamorfosis, menyentuh isu-isu kontemporer yang mendesak.
Menginterogasi "Merdeka Belajar"
Program "Merdeka Belajar" yang digulirkan pemerintah memiliki semangat yang sejalan dengan Freire yakni berpusat pada siswa, mendorong pemikiran kritis, dan memberikan otonomi.
Namun, di lapangan, relevansi Freire justru hadir sebagai sebuah pertanyaan kritis. Apakah "kemerdekaan" ini sungguh-sungguh mengubah relasi kuasa di kelas, atau hanya menjadi jargon administratif baru?
Tanpa transformasi fundamental pada cara guru memandang murid—dari objek menjadi subjek—maka "Merdeka Belajar" berisiko menjadi "Gaya Bank" dengan kemasan baru.
Proyek P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) yang idealnya menjadi arena "pendidikan hadap masalah" bisa saja tergelincir menjadi sekadar pameran karya tanpa refleksi kritis yang mendalam.
Buku Freire mengingatkan kita bahwa pembebasan pendidikan tidak terletak pada perubahan nama kurikulum, tetapi pada perombakan relasi kuasa dan tujuan filosofisnya.
Senjata Melawan Tsunami Informasi dan Hoaks
Di era digital, kita tidak lagi kekurangan informasi, kita justru tenggelam di dalamnya. Media sosial, video singkat, dan grup percakapan menjadi "guru" baru yang setiap detik "mendepositokan" informasi ke otak kita.
Masalahnya, banyak dari "deposit" ini adalah disinformasi, hoaks, dan propaganda.
Di sinilah "Pendidikan Gaya Bank" versi digital menjadi berbahaya. Ia menciptakan generasi yang terbiasa menelan informasi mentah-mentah tanpa filter.
Sebaliknya, pendidikan ala Freire yang melatih nalar kritis adalah vaksin paling ampuh. Kemampuan untuk "membaca dunia" menganalisis siapa yang diuntungkan dari sebuah berita, apa agenda di baliknya, dan bagaimana narasi itu dibangun, adalah keterampilan bertahan hidup yang esensial di abad ke-21.
Menjembatani Ketimpangan Digital dan Sosial
Freire selalu berpihak pada "kaum tertindas". Hari ini, penindasan itu bisa berbentuk ketimpangan akses.
Ada siswa di kota besar dengan akses internet dan gawai canggih, ada pula siswa di pelosok yang masih kesulitan mendapat sinyal atau buku pelajaran.
Pendidikan Kaum Tertindas memaksa kita bertanya tentang untuk siapa sebenarnya inovasi pendidikan ini dirancang. Apakah digitalisasi hanya akan memperlebar jurang bagi mereka yang sudah tertinggal?
Pendidikan yang membebaskan, menurut Freire, harus dimulai dari realitas mereka yang paling terpinggirkan, menjadikan masalah mereka (misalnya, akses air bersih, kerusakan lingkungan, atau kurangnya fasilitas kesehatan) sebagai pusat dari kurikulum.
Panggilan yang Tak Kunjung Usai
Pada akhirnya, Pendidikan Kaum Tertindas bertahan bukan karena ia menawarkan solusi teknis yang mudah. Kekuatannya terletak pada pertanyaan fundamental yang diajukannya, yakni pendidikan ini untuk apa dan untuk siapa?
Buku ini adalah cermin yang memaksa para pendidik, pembuat kebijakan, dan kita semua untuk merefleksikan peran kita.
Apakah kita sedang mencetak "celengan-celengan" yang patuh, atau sedang memfasilitasi lahirnya manusia-manusia merdeka yang kritis, berani, dan mampu mengubah dunia mereka menjadi lebih baik?
Lebih dari 50 tahun setelah kelahirannya, buku tua ini belum selesai berbicara. Ia masih menggugat, menantang, dan yang terpenting, memberikan harapan bahwa pendidikan sejati adalah jalan menuju pembebasan.
Sebuah tugas yang di Indonesia hari ini, terasa sama mendesaknya seperti dahulu. []
Tabik,
Ahmad Fahrizal Aziz
Posting Komentar untuk "Relevansi Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” Di Era Sekarang"
Posting Komentar