Selamat Datang di Nara Kata Media

Sajian Sastra, Budaya, dan Pemikiran Kritis

Memahami Fenomena Kemarau Basah


Musim kemarau biasanya identik dengan tanah retak-retak, sumur menyusut, dan debu yang menempel di kaca rumah. 

Tapi beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan pemandangan yang agak janggal, kemarau kok malah basah?

Kalender bilang sudah waktunya kering, tapi langit seolah-olah tidak peduli, tetap menurunkan hujan hampir setiap hari. 

Orang kampung menyebutnya “musim ngacau”. BMKG menamakannya dengan istilah lebih akademis: kemarau basah.

Fenomena ini bukan salah perkiraan cuaca. Bukan pula kesalahan teknis radar BMKG. Ini kenyataan yang sedang terjadi, hasil dari interaksi kompleks sistem atmosfer di atas kepala kita. 

Cuaca tropis Indonesia, rupanya, jauh lebih rumit daripada sekadar “musim hujan” dan “musim kemarau”.

Apa yang Dimaksud Kemarau Basah?

Kemarau basah adalah kondisi ketika musim kemarau—yang seharusnya kering—justru diwarnai hujan deras, merata, bahkan hampir setiap hari. 

Padahal normalnya, kemarau identik dengan udara panas dan matahari menyengat. 

Jadi, saat kemarau basah datang, orang dibuat bingung, kapan bisa menjemur pakaian dengan tenang? Kapan petani bisa memastikan musim tanam sesuai kalender?

Fenomena ini memberi sinyal bahwa pola cuaca Indonesia sedang mengalami “anomali”, istilah sopannya. Bahasa sehari-hari: iklim kita memang sedang berulah.

Kalau Bukan El Niño dan IOD, Lalu Apa?

Selama ini, dua faktor besar yang paling sering disebut dalam cerita cuaca Indonesia adalah El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). 

El Niño membuat Indonesia kering kerontang, bahkan sampai sawah retak. Sebaliknya, La Niña bisa membuat banjir di mana-mana. 

Sementara IOD, dengan pengaruh suhu laut di Samudra Hindia, juga ikut mengatur kadar basah dan kering negeri ini.

Tetapi, dalam kasus kemarau basah, keduanya ternyata sedang “netral”. Tidak panas, tidak dingin, tidak dominan. Jadi, biang kerok hujan di musim kemarau bukanlah ENSO atau IOD.

Tiga Mesin Hujan di Langit

BMKG menjelaskan, ada tiga sistem atmosfer tropis yang bekerja bersamaan sehingga hujan tetap turun meski seharusnya kemarau. Tiga mesin hujan itu adalah:

  1. Madden-Julian Oscillation (MJO)
    Gelombang atmosfer yang berjalan mengelilingi bumi di sekitar ekuator. Saat fase basah MJO mampir ke Indonesia, awan-awan hujan tumbuh lebih subur dari biasanya.

  2. Gelombang Kelvin
    Ia berfungsi seperti kurir, membawa kelembapan dari Samudra Hindia ke Indonesia. Ketika kelembapan ini bertemu udara panas daratan, jadilah hujan.

  3. Gelombang Rosby Ekuatorial
    Yang satu ini memperkuat awan konvektif, awan yang bisa menghasilkan hujan deras, kilat, bahkan badai kecil.

Bayangkan tiga sistem itu bekerja bersama, seperti tiga mesin pompa air yang dihidupkan bersamaan. Tak heran, hujan deras tetap turun meski kalender menulis “kemarau”.

Dampak di Lapangan

Fenomena kemarau basah ini bukan sekadar cerita ilmiah di laboratorium. Dampaknya nyata:

  • Risiko banjir dan longsor meningkat. Hujan deras terus-menerus membuat sungai cepat meluap, dan tanah yang jenuh air gampang ambrol.
  • Pertanian kacau jadwal. Kalender tanam tradisional sudah tak bisa dipegang. Petani harus lebih sering menengok langit dan mendengar radio cuaca daripada berpatokan pada warisan “hujan turun bulan ini, panen bulan itu”.
  • Masalah kesehatan. Lingkungan yang lembap memicu penyakit, dari demam berdarah sampai infeksi kulit. Saluran air yang mampet pun cepat menimbulkan bau dan banjir lokal.
  • Kehidupan sehari-hari terganggu. Cuci baju jadi tantangan, menjemur gabah makin sulit, dan acara hajatan bisa bubar jalan karena hujan tak kenal kompromi.

Apa yang Bisa Dilakukan?

BMKG sudah mengimbau agar masyarakat tetap waspada. Beberapa langkah praktis bisa dilakukan:

  1. Selalu memantau info cuaca. Jangan malas membuka aplikasi BMKG atau mendengar pengumuman. Cuaca sekarang lebih sulit diprediksi dengan logika biasa.
  2. Petani perlu fleksibel. Jangan terpaku kalender musim. Ikuti kondisi nyata di sawah.
  3. Perhatikan kebersihan lingkungan. Saluran air harus rajin dibersihkan supaya hujan deras tak langsung berubah jadi banjir.
  4. Siaga bencana. Bagi yang tinggal di daerah rawan longsor atau banjir, sebaiknya punya rencana evakuasi sederhana.

Refleksi

Kemarau basah adalah tanda bahwa iklim global sedang berubah, dan kita ikut terkena dampaknya. Dulu, orang tua bisa menebak musim hanya dengan melihat bintang atau arah angin. 

Sekarang, bahkan BMKG pun harus memantau data satelit setiap jam agar bisa memberi peringatan.

Fenomena ini seperti tamparan halus: bahwa kita tak bisa lagi hidup seolah-olah iklim tidak berubah. Pertanian, perumahan, hingga gaya hidup, mau tak mau harus menyesuaikan.

Apakah ini pertanda bahwa kalender musim sudah usang? Atau justru tantangan agar kita lebih adaptif dalam membaca tanda-tanda alam?

Satu hal jelas, kemarau basah mengingatkan bahwa langit tak pernah sepenuhnya bisa kita atur. Kita hanya bisa belajar memahami, menyesuaikan, dan bersiap. []

Narakata Team

Posting Komentar untuk "Memahami Fenomena Kemarau Basah"