Selamat Datang di Nara Kata Media

Sajian Sastra, Budaya, dan Pemikiran Kritis

Mengapa Dunia Terbentuk Seperti Sekarang? Diskusi Wang Gungwu dan Gita Wirjawan


Sumber: Video “Why the World Looks Like the World Today? - Wang Gungwu | Endgame #228” di kanal YouTube Endgame with Gita Wirjawan

Sumber: https://www.hkihss.hku.hk/en/people/gungwu-wang-1/

Video berdurasi hampir dua jam ini menampilkan perbincangan mendalam antara sejarawan terkemuka Prof. Wang Gungwu dengan Gita Wirjawan, mantan Menteri Perdagangan Indonesia yang kini dikenal luas sebagai pemikir dan podcaster. 

Keduanya membedah sejarah panjang peradaban dunia, khususnya bagaimana geografi, budaya, dan politik membentuk wajah dunia modern.

Latar Belakang Narasumber

Prof. Wang Gungwu lahir tahun 1930 di Surabaya, kemudian dibesarkan di Malaya (kini Malaysia). Ia dikenal sebagai sejarawan Asia dan spesialis sejarah Tiongkok dengan reputasi internasional. 

Wang mengajar di berbagai universitas ternama, termasuk Universitas Nasional Singapura, dan banyak menulis buku mengenai diaspora Tionghoa, sejarah Asia Timur, serta hubungan Tiongkok dengan Asia Tenggara. 

Kehidupannya yang tumbuh di keluarga imigran Tionghoa membuatnya akrab dengan gejolak sejarah kolonialisme Belanda, Inggris, hingga pendudukan Jepang, yang kelak mewarnai pemikirannya.

Dari Keluarga ke Negara-Bangsa

Dalam diskusi, Wang menjelaskan bahwa peradaban manusia bermula dari unit terkecil: keluarga. Ikatan darah berkembang menjadi suku, kerajaan, lalu kekaisaran. 

Seiring perjalanan sejarah, manusia menciptakan konsep negara-bangsa untuk mengorganisasi diri lebih besar lagi. Momentum penting lahir dari Perjanjian Westphalia 1648, yang menegaskan kedaulatan wilayah sebagai dasar perdamaian di Eropa. 

Namun, gagasan modern tentang negara-bangsa baru menguat pasca Pencerahan dan Revolusi Prancis pada abad ke-18.

Peradaban Tionghoa vs. India

Perbandingan menarik disampaikan Wang mengenai Tiongkok dan India kuno. Sungai Kuning yang rawan banjir memaksa masyarakat Tiongkok membangun birokrasi kuat, sedangkan India berkembang lebih plural dengan filsafat dan kepercayaan beragam. 

Sistem tulisan ideografis Tiongkok juga berperan penting menjaga kesatuan budaya, meski bahasa lisan berbeda-beda. Sementara di Eropa, alfabet justru mendorong fragmentasi menjadi negara-negara kecil.

Kesadaran sejarah panjang serta tradisi meritokrasi dalam memilih pemimpin menjadi ciri khas Tiongkok. Bahkan Dinasti Qing yang berasal dari etnis Manchu, kata Wang, akhirnya menyerap budaya Han dan melanjutkan kesinambungan peradaban.

Tiongkok Abad ke-20

Perubahan besar terjadi ketika kekaisaran runtuh. Sun Yat Sen membawa ide republik, sebelum Mao Zedong muncul dengan revolusi komunis. Mao dianggap berhasil karena menggandeng mayoritas petani, berbeda dengan model Barat yang berbasis kapitalisme. 

Reformasi berlanjut di bawah Deng Xiaoping dengan pendekatan “reformasi, bukan revolusi”, membuka ekonomi dan mengentaskan jutaan orang dari kemiskinan. 

Kini, di era Xi Jinping, fokus beralih ke pemberantasan korupsi, penguatan kontrol partai, dan menghadapi kompetisi geopolitik global.

Demokrasi, Otokrasi, dan Tantangan Suksesi

Wang menekankan bahwa baik demokrasi maupun otokrasi sama-sama menghadapi persoalan suksesi kepemimpinan. Demokrasi belum tentu menghasilkan pemimpin terbaik, sementara otokrasi bisa rapuh bila bergantung pada figur tunggal. Keduanya memerlukan adaptasi agar tetap relevan.

Hegemoni Amerika dan Globalisasi

Setelah Uni Soviet runtuh, Amerika Serikat sempat menikmati posisi hegemonik pada 1990-an. Namun, globalisasi dan keterbukaan perdagangan justru memberi peluang besar bagi Tiongkok untuk bangkit. 

Masuknya Tiongkok ke WTO menjadi titik balik. Di sisi lain, hal ini memicu keresahan di AS karena banyak industri berpindah ke Asia, mengurangi lapangan kerja domestik.

Asia Tenggara yang Kurang Terdengar

Wang juga menyoroti Asia Tenggara, kawasan yang kaya sejarah dan budaya namun sering terpinggirkan dalam literatur global. Menurutnya, generasi muda di kawasan ini perlu menuliskan sejarahnya sendiri agar posisi Asia Tenggara lebih diakui dalam percaturan dunia.

***

Bagi Wang, memahami sejarah bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi fondasi untuk membangun masa depan. Setiap generasi menghadapi tantangan unik, tetapi kesadaran sejarah memberi alat untuk beradaptasi, terbuka terhadap perubahan, dan melahirkan kreativitas. Ia optimis bahwa generasi sekarang bisa memanfaatkan warisan sejarah untuk melangkah lebih jauh.

***

Percakapan Wang Gungwu dengan Gita Wirjawan ini menawarkan perspektif berharga mengenai perjalanan panjang peradaban dunia. Dari Tiongkok, India, Eropa, hingga Asia Tenggara, sejarah selalu dipengaruhi geografi, budaya, dan politik. 

Bagi pembaca Indonesia, diskusi ini relevan karena menempatkan Asia Tenggara bukan sekadar penonton, tetapi bagian penting dari panggung global.

Profil Singkat Narasumber:

  • Wang Gungwu: sejarawan Asia, profesor emeritus Universitas Nasional Singapura, pakar sejarah Tiongkok dan diaspora Tionghoa, lahir di Surabaya 1930.
  • Gita Wirjawan: pengusaha, pendidik, mantan Menteri Perdagangan Indonesia (2011–2014), pendiri kanal podcast Endgame.

Sumber: Video Endgame with Gita Wirjawan episode #228, berjudul “Why the World Looks Like the World Today? - Wang Gungwu”, tayang di YouTube.

Posting Komentar untuk "Mengapa Dunia Terbentuk Seperti Sekarang? Diskusi Wang Gungwu dan Gita Wirjawan"