Etika Lingkungan dalam Pemikiran Imam Al-Ghazali
Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) adalah salah satu intelektual Muslim paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam.
Meski ia tidak hidup pada era isu perubahan iklim atau eksploitasi industri, gagasannya mengenai alam semesta, lingkungan, dan hubungan manusia dengan ciptaan Allah menunjukkan kedalaman refleksi ekologis yang relevan hingga hari ini.
Pandangan tersebut tersebar dalam sejumlah karyanya, seperti Ihya’ Ulum al-Din, Mishkat al-Anwar, Kimiya-yi Sa’adat, dan risalah-risalah kosmologisnya.
Artikel ini merangkum kerangka etika lingkungan Al-Ghazali berdasarkan sumber primer dan studi akademik kontemporer yang kredibel.
Tafakkur, Merenungkan Alam sebagai Ibadah
Dalam Ihya’ Ulum al-Din, khususnya Kitab al-Tafakkur, Al-Ghazali menempatkan kegiatan merenungkan alam sebagai bentuk ibadah yang tinggi nilainya.
Alam dipandang sebagai “kitab terbuka” (kitab mansyūr), sebuah teks besar yang mengandung tanda-tanda (ayat) kebesaran Allah.
Gunung, laut, peredaran bintang, tumbuhan, dan hewan merupakan objek renungan yang tidak hanya menumbuhkan pengetahuan, tetapi juga mendalamkan kesadaran spiritual.
Ia menulis bahwa orang yang tidak memikirkan ciptaan Allah termasuk golongan yang lalai, karena kehilangan kesempatan untuk membaca ayat-ayat kauniyyah tersebut.
Pada titik ini, tafakkur memiliki makna ekologis yang jelas: manusia diajak melihat harmoni, keteraturan, dan keseimbangan alam—sebuah keseimbangan yang seharusnya mengilhami tata kelola lingkungan yang tidak merusak.
Amanah dan Tugas Manusia sebagai “Penggembala” Bumi
Dalam berbagai karya etisnya, Al-Ghazali menggunakan istilah amanah sebagai dasar moral relasi manusia dengan alam.
Walaupun konsep “khalifah” lebih sering dibahas oleh mufasir, Al-Ghazali secara eksplisit menegaskan bahwa manusia diberi amanah untuk menjaga bumi, bukan mengeksploitasinya.
Dalam Kimiya-yi Sa’adat, ia menegaskan:
“Allah menjadikan manusia sebagai penggembala (ra‘ī) atas makhluk-makhluk-Nya di bumi. Maka jika ia merusaknya, ia telah berbuat zalim kepada Allah.”
Ungkapan ini penting karena menempatkan etika lingkungan sebagai bagian dari ketaatan kepada Tuhan. Merusak alam bukan sekadar tindakan moral yang buruk, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilahiah.
Keseimbangan Alam dan Larangan Israf
Salah satu kontribusi penting Al-Ghazali dalam etika lingkungan adalah perluasan konsep israf (pemborosan).
Dalam Ihya’, terutama Kitab Adab al-Akl wa al-Shurb, ia menegaskan bahwa pemborosan tidak hanya berlaku pada harta dan makanan, tetapi juga pada air serta sumber daya alam lainnya.
Mengambil lebih dari kebutuhan dianggap sebagai tindakan yang mengganggu keseimbangan alam.
Ia juga menolak perburuan hewan secara berlebihan atau pembantaian tanpa tujuan, yang menurutnya merupakan bentuk kezaliman terhadap makhluk yang diciptakan Allah untuk keberlanjutan ekosistem.
Dengan demikian, israf dalam perspektif Al-Ghazali dapat dibaca sebagai kritik awal terhadap gaya hidup konsumtif yang mendorong kerusakan lingkungan.
Alam sebagai Manifestasi Nama-Nama Allah
Dalam karya mistis-filosofis seperti Mishkat al-Anwar dan al-Risalah al-Laduniyyah, Al-Ghazali mengembangkan pandangan ontologis bahwa alam adalah “bayangan” (zill) atau pantulan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Segala bentuk keteraturan, keindahan, dan keberlanjutan adalah cerminan dari kehendak ilahi.
Dari sini lahir pandangan ekologis yang kuat: merusak alam berarti merusak manifestasi nama-nama Allah.
Ide ini diperkuat oleh studi akademik modern, misalnya karya Mustafa Abu Sway (1998), Nidhal Guessoum (2010), dan Adi Setia (2007), yang menafsirkan pandangan Al-Ghazali sebagai fondasi teologi lingkungan Islam klasik.
Keterhubungan Alam dan Penolakan Kausalitas Mandiri
Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik gagasan filsafat alam yang menganggap kausalitas bersifat mandiri. Ia menegaskan bahwa alam tidak dapat berdiri sendiri; ia selalu berada dalam pemeliharaan dan pengaturan Allah.
Konsep teologis ini memiliki implikasi ekologis: karena alam adalah makhluk yang lemah dan bergantung, manusia tidak boleh menguasainya secara absolut atau mengeksploitasinya secara brutal.
Relasi manusia dengan lingkungan harus berlandaskan rasa tanggung jawab, bukan dominasi.
***
Pemikiran Al-Ghazali menunjukkan bahwa etika lingkungan dalam tradisi Islam memiliki dasar teologis dan spiritual yang kuat.
Alam adalah ayat Allah yang harus direnungkan, amanah besar yang harus dijaga, dan sistem keseimbangan yang tidak boleh dirusak oleh pemborosan maupun kerakusan.
Kerangka ekologis Al-Ghazali memang tidak disusun dengan bahasa sains modern, tetapi intinya sangat relevan: merawat alam adalah bagian integral dari keimanan dan ketakwaan. Ethos ini memberi landasan etis bagi upaya pelestarian lingkungan dalam perspektif Islam kontemporer.
📝 Narakata Team

