Review Film Frankenstein, Netflix 2025


Selalu ada momen ketika sebuah film seperti mahluk yang mengetuk pintu rumahmu pada malam lembab—membawa kabar lama yang belum tuntas. 

Frankenstein (2025) karya Guillermo del Toro adalah kabar itu. Ia datang pelan, seperti salju Arktik yang menelan seluruh horizon, mengabarkan bahwa luka keluarga yang tidak pernah dibicarakan, pada akhirnya akan mencari jalan keluar. Bahkan lewat makhluk setinggi delapan kaki.

Del Toro, yang sejak kecil memuja monster seperti orang lain memuja malaikat, akhirnya menyelesaikan proyek yang ia simpan sejak 2007. 

Ia menyebutnya tragedi Miltonian, dan memang, dari awal hingga akhir film ini terasa seperti seseorang sedang membaca Paradise Lost di samping tempat tidurmu: puitis, muram, tapi tidak pernah kehilangan getar manusiawinya.

Sebagai sutradara, produser, dan penulis, del Toro mengurusi film ini dengan obsesionalitas khas seorang ayah yang tidak mau melepas tangan anaknya ketika menyeberangi jalan. 

Set fisiknya dibangun penuh, kapal Arktik yang membeku, laboratorium Ingolstadt yang bau formalin, hingga ruangan keluarga De Lacey yang hangat seperti rumah kecil yang selalu ingin kita pulang. 

Tidak ada CGI murahan yang mengganggu. Del Toro seperti ingin mengatakan, Lihatlah dunia ini. Ia nyata. Dan luka-luka di dalamnya pun nyata.

Skor Alexandre Desplat menambah nyala emosional itu. Musiknya bergerak dari bisikan lembut ke orkestrasi besar, seperti napas seseorang yang berjuang antara memaafkan dan meminta maaf.

***

Cerita dibuka di kapal Kapten Walton, sebuah bingkai naratif yang tersisa dari novel Mary Shelley, tapi di tangan del Toro menjadi semacam ruang pengakuan. 

Di sini Victor Frankenstein (Oscar Isaac) datang sebagai orang yang kalah oleh ambisinya sendiri. 

Tubuhnya rapuh, matanya cekung, tetapi suaranya masih tajam ketika ia mengatakan bahwa ada sesuatu yang mengejarnya. Sesuatu yang ia ciptakan dengan tangannya sendiri.

Di momen itu, batas antara ilmuwan dan ayah terasa mengabur. Isaac memainkan Victor sebagai sosok yang selalu terjebak dalam dinginnya cinta paternal.

Ayahnya (Charles Dance) keras, otoriter, dan jauh. Trauma itu, dalam versi del Toro, tidak berakhir ketika Victor dewasa. 

Ia justru beranak-pinak menjadi obsesi: bagaimana jika ia bisa mengalahkan kematian? Bagaimana jika ia bisa “menciptakan” keluarga yang gagal diberikan padanya?

Mia Goth memainkan dua peran sekaligus: Elizabeth, kekasih yang punya kelembutan seperti cahaya pagi, dan ibu Victor yang meninggal saat melahirkan. 

Sebuah keputusan artistik yang, jujur saja, membuat kepala kita berkedut sedikit, tapi bukankah banyak dari kita yang diam-diam mencari wajah ibu dalam cinta pertama?

***

Makhluk ciptaan Victor—diperankan Jacob Elordi dengan prostetik berat, adalah pusat gravitasi emosional film ini. 

Del Toro menolak gambaran monster menggeram seperti versi Universal 1931. 

Ia membuat makhluk ini cerdas, puitis, cepat belajar, bahkan lebih manusiawi daripada banyak manusia di sekitarnya. 

Elordi memainkannya dengan kombinasi wajah yang “rusak” tapi mata yang jernih.

Makhluk ini membaca Paradise Lost, mengamati keluarga petani, menangis ketika ditolak, dan marah ketika kesepian. 

Bukankah kita semua, dalam bentuk paling primitif, hanyalah makhluk yang ingin diterima?

Ketika keluarga De Lacey menolak kehadirannya, meski ia membantu mereka dari jauh, adegan itu seperti lembar sejarah yang akrab. 

Tentang betapa cepatnya manusia menolak sesuatu yang berbeda, entah itu warna kulit, keyakinan, atau sekadar wajah yang tak simetris.

Konfrontasi antara Victor dan makhluk di pegunungan Alpen menjadi pusat filosofi film. 

Di sana, dua sosok itu berdiri seperti dua sisi cermin retak: ayah yang gagal, dan anak yang tidak pernah diminta kelahirannya. 

Del Toro membuat relasi ini begitu intim; bukan sekadar pencipta dan ciptaan, melainkan dua individu yang sama-sama hancur oleh penolakan.

Pengejaran global yang mengikuti, dari Eropa ke Rusia hingga Arktik, memberi film ini skala epik. 

Namun pada akhirnya, del Toro menolak tragedi total dalam novel Shelley. Ia memberi celah harapan.

Victor, menjelang mati, untuk pertama kali memanggil makhluk itu sebagai “putra.” 

Sebuah kata yang mungkin terlambat, tapi tidak pernah sia-sia. Makhluk itu menangis karena akhirnya ada pengakuan.

Di akhir film, makhluk berjalan sendirian menuju matahari terbit. Tidak membakar diri seperti di novel. Ia memilih hidup. Luka tetap ada, tapi hidup tetap harus diteruskan. 

Dalam gaya del Toro, inilah kemenangan kecil yang terasa seperti keajaiban.

Pada akhirnya, Frankenstein versi del Toro adalah esai visual tentang ayah, anak, dan ketidaksempurnaan cinta yang selalu butuh ruang maaf. 

Seperti catatan harian yang hilang dan ditemukan kembali, film ini mengajak kita menatap luka keluarga tanpa lari.

Lalu, setelah menonton, pertanyaannya sederhana, luka mana yang selama ini kau kira sudah sembuh, padahal hanya kau tutup rapat?

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image