Selamat Datang di Nara Kata Media

Sajian Sastra, Budaya, dan Pemikiran Kritis

Joko Pinurbo, Puisi, Celana, dan Senja yang Tak Pernah Selesai

"Setelah punya rumah, apa cita-citamu?
Kecil saja: ingin sampai rumah
saat senja supaya saya dan senja sempat
minum teh bersama di depan jendela."

— Joko Pinurbo, “Cita-Cita” dalam Selamat Menunaikan Ibadah Puisi


Joko Pinurbo—atau lebih akrab disapa Jokpin—adalah penyair yang mampu membuat pembaca tertawa dan termenung lewat racikan diksinya.

Puisinya tidak menonjolkan kata-kata megah, tetapi justru menyoroti hal-hal remeh: celana, sarung, kopi, kamar mandi, bahkan biskuit Khong Guan. 

Namun dari situlah keajaiban sastra Jokpin bekerja. Ia menunjukkan bahwa keindahan puisi bisa lahir dari benda paling biasa, bahwa makna bisa ditemukan di balik hal-hal yang kerap dianggap tak berarti.

***

Lahir di Sukabumi, 11 Mei 1962, Jokpin adalah anak dari pasangan guru. Ia tumbuh dalam lingkungan sederhana, yang barangkali membentuk kepekaannya terhadap hal-hal sehari-hari. 

Ia kuliah di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di kota ini pula, ia menempa diri sebagai penyair dan akhirnya menjadi ikon sastra Indonesia.

Jokpin wafat pada 27 April 2024 di Yogyakarta, ia mewariskan cara baru membaca kenyataan dengan senyum dan lirih yang hangat.

Celana yang Mengubah Arah

Puisi pertama Jokpin dimuat di media sejak ia masih SMA, tetapi buku puisi pertamanya baru terbit di usia 37 tahun: Celana (1999). 

Buku ini tidak hanya memperkenalkan Jokpin ke panggung sastra nasional, tetapi juga mengubah cara banyak orang memandang puisi.

Dalam Celana, ia menulis:

“Ia ingin membeli celana baru...
Buat nampang di kuburan.”

Dengan nada nyaris jenaka, Jokpin membicarakan kematian. Tapi ia tidak membawa kesedihan mendalam atau tangisan pilu. 

Ia justru memakai celana—sebuah objek keseharian—untuk menyampaikan soal kehilangan dan identitas.

Setelah Celana, ia menerbitkan Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), hingga Pacar Senja: Seratus Puisi Pilihan (2005). 

Jokpin bahkan pernah merilis buku dengan judul eksentrik: Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007). 

Judul-judul itu tampak seperti permainan, tetapi isinya justru serius—dengan cara yang sangat Jokpin.

Buku-buku selanjutnya seperti Kepada Cium (2007), Tahilalat (2012), Baju Bulan (2013), dan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016) semakin memperkuat gaya khasnya: naratif, reflektif, kadang nakal, dan sering mengecoh.

Gaya Jokpin, Lelucon yang Berdoa

Membaca Jokpin ibarat menonton pertunjukan monolog yang lembut tapi mengena. Ia bisa bicara soal cinta, kehilangan, bahkan Tuhan, dengan gaya santai. 

Namun di balik gaya santai itu, terselip kontemplasi dalam. Puisinya ibarat secangkir kopi: hangat, pahit, dan bikin rindu.

Pertama, Jokpin sangat jujur pada bahasa. Ia tidak bermain metafora berlapis-lapis, melainkan menyajikan bahasa langsung, nyaris datar, tapi menggigit. Bahasa sehari-hari menjadi senjata utama.

Kedua, ia memelintir realitas. Dalam puisi Doa Seorang Pesolek, ia menulis:

“Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.”

Ada keberanian dalam menyebut Tuhan sebagai “cantik”—sebuah pelintiran yang bisa membuat orang tertawa, lalu berpikir.

Ketiga, Jokpin punya hubungan intim dengan objek. Celana, misalnya, bukan sekadar busana. Ia bisa menjadi simbol tubuh, identitas, bahkan ingatan masa kecil. Ia menulis:

“Ibu, kausimpan di mana
celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?”

Puisi-puisi Jokpin sering bernarasi, seperti cerita pendek. Banyak puisinya bertokoh “aku” yang menempuh perjalanan, mengalami kegagalan cinta, atau berdoa dengan cara yang tidak biasa. 

Ia juga menaruh perhatian besar pada senja, ibu, ranjang, dan kamar mandi—tempat-tempat permenungan yang paling sunyi dalam hidup manusia.

Manusia, Bukan Nabi

Salah satu kekuatan Jokpin adalah keengganannya menjadi guru. Ia bukan penyair yang menasihati atau mengajari. Ia tidak menyodorkan jawaban, hanya menunjukkan celah pertanyaan. 

Dalam puisinya, Tuhan bisa diajak bercanda, kekasih bisa digugat lewat mimpi, dan dunia bisa dilihat dari lubang kancing baju.

Dalam Buku Latihan Tidur (2017), ia menulis:

“bahwa amin yang terbuat dari iman
menjadikan kau merasa aman.”

Puitis, sekaligus logis. Lelucon kecil yang bisa membuat kita berpikir soal doa dan keyakinan.

Krisis dan Katarsis

Jokpin sempat mengalami masa mandek dalam menulis. Pada awal 1990-an, ia membakar tiga bundel puisinya sendiri. Ia merasa puisinya tidak berkembang, terlalu konvensional, terlalu berat. 

Peristiwa ini menjadi momen katarsis. Setelah itu, ia mengubah pendekatan: ia menulis dari keseharian, dari hal-hal paling sederhana. Dari celana.

Transformasi ini menjadi titik balik. Jokpin menemukan suaranya. Ia tidak lagi mengejar puisi yang “tinggi”, tapi membiarkan puisinya berjalan kaki di trotoar.

Pengakuan dan Pengaruh

Jokpin menerima banyak penghargaan, antara lain:

  • Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015)
  • SEA Write Award (2014)
  • Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014)
  • Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2012)

Namun lebih dari penghargaan, Jokpin meraih tempat khusus di hati pembaca. Puisinya dikutip di media sosial, dibacakan di pernikahan, dikaji di kampus, dinyanyikan oleh musisi, bahkan dijadikan mural.

Ia adalah penyair yang bisa dibaca siapa saja, tanpa perlu takut tersesat dalam makna.

Menyentuh, Bukan Menceramahi

Ada satu hal yang tak berubah dari Jokpin: kerendahhatian. Dalam banyak wawancara, ia mengaku tidak pernah bermimpi menjadi penyair besar. Ia hanya ingin menulis puisi yang bisa membuat orang merasa ditemani. 

Ia ingin puisinya seperti teh hangat: tidak mengubah hidupmu secara drastis, tapi menghangatkan hatimu di tengah dingin dunia.

Satu kali ia menulis:

“Jika nanti air mataku terbit di matamu
dan air matamu terbenam di mataku,
maaf selesai dan cinta kembali mulai.”

Larik itu menunjukkan esensi puisi Jokpin: kedalaman emosi yang disampaikan dengan sangat ringan.

Beberapa Petikan Puisi Pilihan

Dari Buku Latihan Tidur (2017):

“bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah...”

Sumber: Goodreads

Dari Doa Seorang Pesolek:

“Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.
Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.”

Sumber: Orami.co.id

Dari Celana (1999):

“Ia ingin membeli celana baru...
Hanya untuk menanyakan,
‘Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?’”

Sumber: Detik.com

Dari Di Atas Meja:

“Di atas meja kecil ini
masih tercium harum darahmu
di halaman-halaman buku.”

Sumber: Kompasiana

***

Joko Pinurbo sudah tiada, tapi puisinya tetap tinggal. Ia tidak meninggalkan bangunan megah atau jargon revolusioner. 

Ia meninggalkan “rumah kata”—tempat senja dan kopi bisa duduk bersama, tempat celana bisa bicara tentang duka, dan tempat pembaca bisa merasa didengar, dipahami, dan tidak sendirian. Seperti katanya sendiri:

“Saya dan senja sempat
minum teh bersama di depan jendela.”

Dan kita semua, diam-diam, ingin juga duduk di jendela itu. Bersama Jokpin. Bersama puisi. []

Narakata Team

Posting Komentar untuk "Joko Pinurbo, Puisi, Celana, dan Senja yang Tak Pernah Selesai"