Otonomi Daerah, Warisan Era B.J. Habibie

Otonomi Daerah, Warisan Era B.J. Habibie. Jejak Historis dalam Buku “Detik-Detik yang Menentukan”

Ketika krisis multidimensi melanda Indonesia pada 1998, dan Presiden Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan, negara berada dalam situasi rawan. 

Di tengah transisi itu, Bacharuddin Jusuf Habibie naik sebagai Presiden ke-3 RI. Banyak yang meragukan kepemimpinannya, tapi di tengah tekanan politik, ekonomi, dan sosial yang berat, Habibie mengambil langkah-langkah strategis yang terbukti monumental. Salah satunya: kebijakan otonomi daerah.

Langkah ini tidak hanya menjadi solusi atas tuntutan daerah, tetapi juga menjadi pondasi baru bagi demokrasi Indonesia. 

Gagasan besar tersebut terekam dengan gamblang dalam buku otobiografi Habibie yang berjudul Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

Buku yang Merekam Transisi Sejarah

Buku setebal 549 halaman ini diterbitkan oleh THC Mandiri dan merekam secara detail perjalanan Habibie memimpin Indonesia dalam kurun waktu yang singkat namun penuh dinamika, dari Mei 1998 hingga Oktober 1999. 

Ditulis dalam gaya narasi personal, buku ini tidak hanya menyajikan kronologi peristiwa, tetapi juga pergulatan batin, pengambilan keputusan politik, dan strategi dalam menghadapi tekanan dari dalam maupun luar negeri.

Pembahasan khusus mengenai kebijakan otonomi daerah terdapat dalam Bab III, terutama mulai halaman 274. 

Di sinilah Habibie menjabarkan bagaimana lahirnya kebijakan desentralisasi, siapa saja aktor penting di baliknya, serta alasan filosofis mengapa langkah itu menjadi prioritas nasional pada masa itu.

Sentralisasi yang Menuai Ketimpangan

Sebelum reformasi, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang amat sentralistik. Semua kendali anggaran, kebijakan pembangunan, hingga pengambilan keputusan besar berpusat di Jakarta. 

Sementara itu, daerah—terutama luar Jawa—sering merasa terabaikan, meskipun menjadi penyumbang sumber daya alam terbesar bagi negara.

Kondisi ini, menurut Habibie, tidak bisa terus dibiarkan. Dalam bukunya, ia menyatakan, 

“Komitmen saya untuk melaksanakan kebijakan Otonomi Daerah secara sistematis diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.”

Ketimpangan antara pusat dan daerah telah memicu keresahan. Di beberapa wilayah, seperti Aceh dan Papua, ketidakpuasan itu bahkan berujung pada tuntutan separatisme. 

Habibie melihat akar persoalannya bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keadilan dan pengakuan atas kewenangan lokal.

Dua Undang-Undang Sejarah

Dalam masa pemerintahannya yang singkat, Habibie mendorong lahirnya dua regulasi penting:

  • Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Kedua UU ini menjadi tonggak desentralisasi di Indonesia. Inti dari UU No. 22/1999 adalah memberikan kewenangan luas kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur urusan rumah tangga sendiri, kecuali lima bidang yang tetap dikuasai pusat: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, dan agama.

Sementara UU No. 25/1999 menjadi dasar hukum pembagian dana antara pusat dan daerah, mencakup Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Menurut Habibie, “Otonomi daerah adalah gerbang awal untuk meningkatkan kualitas budaya tiap daerah di Indonesia, meningkatkan produktivitas dan daya saing SDM-nya, serta memperkuat perilaku masyarakat yang bersinergi dengan agama dan budaya lokal.”

Tujuan Mulia dan Tantangan Besar

Habibie menekankan bahwa desentralisasi bukan sekadar pengalihan kewenangan administratif, melainkan bagian dari upaya memperkuat demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. 

Ia menginginkan agar masyarakat daerah punya ruang untuk menentukan nasib sendiri, dengan tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tujuan utama kebijakan ini, sebagaimana dijelaskan dalam buku tersebut, antara lain:

  • Mengurangi ketimpangan pusat-daerah
  • Mendorong efisiensi dan efektivitas pelayanan publik
  • Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
  • Memperkuat identitas dan budaya lokal

Namun, Habibie juga tidak menutup mata pada tantangan yang menyertainya. Ia menyadari bahwa kapasitas SDM dan infrastruktur kelembagaan di daerah belum merata. 

Oleh karena itu, ia menyarankan agar proses otonomi dijalankan bertahap, disertai pengawasan dan peningkatan kapasitas.

Warisan yang Masih Dirasakan

Kini, lebih dari dua dekade sejak UU Otonomi Daerah disahkan, kita melihat dampak nyata dari kebijakan itu. Banyak daerah berkembang pesat, muncul tokoh-tokoh daerah yang berpengaruh di panggung nasional, dan dinamika politik lokal menjadi semakin hidup. 

Meski tidak lepas dari persoalan—seperti korupsi lokal atau ketimpangan fiskal antar daerah—desentralisasi tetap menjadi salah satu capaian penting pasca-reformasi.

Buku Detik-Detik yang Menentukan menjadi dokumen sejarah yang sangat berharga. Ia tidak hanya menjadi catatan pribadi Habibie, tetapi juga menjadi sumber pembelajaran tentang bagaimana keputusan besar bisa lahir di tengah situasi krisis, jika dijalankan dengan visi dan keberanian.

Info buku:

  • Judul Buku: Detik-Detik yang Menentukan
  • Penulis: B.J. Habibie
  • Penerbit: THC Mandiri
  • Jumlah Halaman: 549
  • Bahasan Otonomi Daerah: Bab III, mulai halaman 274

Dengan membaca buku ini, kita tidak hanya memahami isi kepala seorang presiden di masa genting, tetapi juga menyaksikan lahirnya kebijakan yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bernegara di Indonesia: otonomi daerah.

Posting Komentar untuk "Otonomi Daerah, Warisan Era B.J. Habibie"