PBNU Berpotensi Raup Rp132 Miliar per Bulan dari Dapur MBG, Ini Skema Keuangannya

Sumber foto channel9.id

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tengah menjadi perhatian publik usai resmi ditunjuk Badan Gizi Nasional (BGN) untuk mengelola 1.000 dapur program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Penunjukan ini bukan hanya menyangkut isu gizi di lingkungan pesantren, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang sangat besar. Simulasi dari pelaku program menyebutkan, PBNU bisa meraup potensi pendapatan hingga Rp132 miliar per bulan dari skema ini. 

Bagaimana sebenarnya alur keuangan dan sumber keuntungan dapur MBG?

Dibiayai Penuh oleh APBN, Tanpa Sistem Reimburse

Program MBG didanai sepenuhnya oleh pemerintah melalui APBN. Tidak seperti sebelumnya yang menggunakan sistem reimburse, skema sekarang menerapkan sistem uang muka. 

Dana langsung ditransfer ke rekening mitra pelaksana—dalam hal ini PBNU—sebelum kegiatan dimulai. Tujuannya, agar operasional dapur berjalan lancar tanpa terganggu proses administrasi yang lambat.

Setiap dapur MBG diklasifikasikan sebagai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Untuk membangun satu unit dapur, dibutuhkan dana investasi antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar. 

Biaya ini meliputi pembangunan fisik, peralatan masak dan distribusi, pelatihan SDM, serta perlengkapan makan. Pemerintah pusat menanggung sebagian besar beban ini, dan bisa juga didukung dana CSR BUMN atau sinergi dengan pemda.

Setelah infrastruktur siap, skema pembiayaan rutin dilakukan dengan pembayaran berdasarkan jumlah porsi yang diproduksi. 

Dapur MBG harus melayani makanan bergizi dengan standar mutu ketat, mulai dari kebersihan, kalori, hingga distribusi. Semua diawasi oleh BGN dan tim ahli gizi.

Kalkulasi Keuntungan Dapur, Rp132 Juta per Bulan per Unit

Lantas dari mana keuntungan PBNU? Jawabannya dari efisiensi produksi. Misalnya, satu dapur MBG rata-rata melayani 3.000 porsi makan per hari. 

Jika diasumsikan selisih biaya aktual dan dana dari pemerintah menghasilkan keuntungan bersih Rp2.000 per porsi, maka satu dapur bisa menghasilkan Rp6 juta per hari. Dengan asumsi beroperasi selama 22 hari per bulan, total pendapatan bersih mencapai Rp132 juta per dapur per bulan.

Dengan mengelola 1.000 dapur, maka secara nasional PBNU berpotensi meraih Rp132 miliar per bulan. Ini bukan dana hibah atau sumbangan, melainkan hasil dari skema kerja sama operasional yang sah dan legal. 

Namun, angka tersebut tetap bersifat estimatif, karena hasil riil bergantung pada efisiensi masing-masing dapur.

Efek Ganda, Ekonomi Lokal dan Kemandirian Pesantren

Selain keuntungan finansial, keberadaan dapur MBG mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Sebagian besar bahan baku diserap dari petani dan UMKM di sekitar pesantren. 

Hal ini menciptakan efek berganda di sektor pertanian, peternakan, dan logistik desa.

Program ini juga membuka banyak lapangan kerja: mulai dari juru masak, tenaga pengolah gizi, tim distribusi, hingga administrasi. Di banyak wilayah, dapur MBG telah menciptakan ekosistem ekonomi mikro yang baru di sekitar pesantren.

Manfaat jangka panjang juga tak kalah penting. Dana rutin yang masuk dari kegiatan dapur dapat dimanfaatkan pesantren untuk meningkatkan fasilitas pendidikan, membuka unit usaha baru, hingga membiayai kemandirian organisasi. Program MBG tidak hanya soal makanan, tapi strategi ekonomi sosial berbasis komunitas.

Tantangan, Transparansi dan Kapasitas Manajemen

Meski potensinya besar, tantangan PBNU juga tidak ringan. Skala program ini sangat luas dan membutuhkan manajemen logistik, pelaporan keuangan, serta pengawasan mutu yang ketat. Tanpa sistem kontrol yang baik, risiko penyalahgunaan atau ketidakefisienan akan besar.

Selain itu, transparansi kepada publik menjadi kunci penting, apalagi angka Rp132 miliar per bulan cukup mencolok dan mudah memicu persepsi negatif jika tidak dijelaskan dengan utuh. 

Oleh sebab itu, PBNU diharapkan membuka laporan berkala dan memastikan bahwa setiap rupiah dari APBN benar-benar sampai ke piring santri dan masyarakat yang membutuhkan.

Penugasan PBNU dalam program MBG sejauh ini bukan hanya pengakuan atas kapasitas organisasi keagamaan, tetapi juga tantangan integritas dan efisiensi manajerial. 

Potensi pendapatan hingga Rp132 miliar per bulan hanyalah permukaan dari misi besar membangun sistem gizi nasional berbasis komunitas. Bila dikelola dengan baik, ini bisa menjadi model sinergi negara, organisasi masyarakat, dan ekonomi lokal yang patut dicontoh. []

Posting Komentar untuk "PBNU Berpotensi Raup Rp132 Miliar per Bulan dari Dapur MBG, Ini Skema Keuangannya"