Layakkah Taufiq Ismail Disebut Bapak Sastra Indonesia? | Catatan 90 Tahun Penyair Taufiq Ismail
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 25 Juni 1935. Ia tumbuh di tengah keluarga religius yang kental nilai keislamannya. Ayahnya seorang ulama Muhammadiyah, ibunya juga dikenal aktif dalam pendidikan.
Semangat membaca dan kepekaan sosial mulai terbentuk sejak kecil, diperkuat oleh masa remajanya di Pekalongan, Jawa Tengah—tempat ia mulai mengenal keragaman budaya Jawa dan geliat nasionalisme pascakemerdekaan.
Meski menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (sekarang IPB), dunia sastra lebih memanggilnya.
Karier akademiknya berhenti setelah ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada 1963, sebuah sikap kebudayaan yang menolak hegemoni politik dalam kesenian—konsekuensinya, ia kehilangan pekerjaan sebagai dosen.
Tapi justru dari titik ini, Taufiq mulai menulis dengan konsisten dan lantang.
Puisi sebagai Sikap dan Kesaksian Zaman
Taufiq Ismail dikenal luas sebagai penyair liris dengan gaya bahasa yang lugas dan penuh retorika.
Puisinya tak hanya mencerminkan pergolakan batin, tetapi juga membaca gelombang zaman. Di antara karyanya yang paling dikenal publik:
- Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia – puisi yang menggugat kemunafikan sosial dan korupsi birokrasi.
- Tirani dan Benteng – kumpulan puisi penuh amarah dan kritik terhadap rezim otoriter.
- Buku Tamu Museum Perjuangan – puisi yang membenturkan idealisme generasi 1945 dengan kenyataan pasca-Orde Lama.
- Puisi-puisi Langit – refleksi spiritualitas dan keislaman dalam balutan bahasa puitik.
Ia juga menulis lagu-lagu religius yang dinyanyikan grup Bimbo dan Chrisye, seperti “Ketika Tangan dan Kaki Bicara”, yang menjadi pengingat moral dan spiritual umat.
Selain itu, tiga jilid Debu di Atas Debu dan Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit menjadi semacam antologi puisi lengkap Taufiq dari masa ke masa, menunjukkan betapa panjang dan konsistennya jejaknya sebagai penyair.
Bahasa Taufiq tidak bertele-tele. Ia memilih diksi sederhana, namun mengandung bobot moral yang dalam.
Puisinya mudah diingat, sering dikutip, bahkan dijadikan slogan atau poster—tanda bahwa ia bukan sekadar penyair, tapi juru bicara nurani publik.
Horison, Benteng Kebudayaan yang Ia Dirikan
Pada 1966, Taufiq bersama Mochtar Lubis, Arief Budiman, PK Ojong dan beberapa intelektual lainnya, mendirikan Majalah Horison. Ini bukan hanya majalah sastra, tapi benteng kebudayaan yang menampung energi intelektual pasca-Manikebu dan tragedi politik 1965.
Horison menjadi tempat terbitnya karya-karya sastra penting dari para penyair, cerpenis, dan esais muda dari berbagai penjuru tanah air.
Taufiq menjaga integritas Horison. Ia membaca setiap naskah, menyeleksi, menyunting, dan menjalin komunikasi dengan banyak penulis.
Di tengah iklim represif Orde Baru, Horison tetap menjadi ruang kebebasan berekspresi.
Pada 1996, Horison meluncurkan Kakilangit, sisipan khusus untuk pelajar, yang kemudian mendorong tumbuhnya komunitas baca dan tulis di sekolah-sekolah.
Program ini menjadi awal dari gagasan besar “Sastra Masuk Sekolah” yang ia gaungkan di tahun-tahun berikutnya.
Aktivisme Sastra dan Gerakan Literasi
Taufiq Ismail bukan penyair menara gading. Ia turun ke sekolah-sekolah, masuk ke ruang guru, bicara langsung ke pelajar dan pengajar.
Ia melihat krisis gawat: minat baca rendah, sastra diajarkan tanpa semangat, dan siswa makin jauh dari dunia puisi.
Ia membentuk program pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS), dan menggelar pelatihan guru di berbagai kota.
Gagasannya sederhana tapi revolusioner: siswa tak hanya membaca puisi, tapi menulis dan membacakannya, merasakan langsung denyut estetika sastra.
Ia pun aktif dalam pertukaran pelajar, menjadi pembina Yayasan Bina Antarbudaya, mengirimkan siswa Indonesia ke luar negeri agar melihat dunia dan kembali dengan pengalaman budaya baru.
Di sisi lain, ia menggagas komunitas lokal untuk menyemai semangat sastra dari bawah.
Pada 2008, Taufiq mendirikan Rumah Puisi di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Ini bukan museum yang sunyi, melainkan pusat literasi yang hidup.
Ada ribuan buku, pelatihan guru, kelas menulis, bahkan sanggar untuk anak-anak.
Dana awalnya berasal dari Habibie Award tahun 2007, sebesar USD 25.000. Ia tak belikan rumah atau mobil, tapi bangun tempat baca.
Rumah Puisi menjadi saksi ketulusan seorang penyair yang ingin “memuliakan huruf” di kampung halamannya.
Pada 2024, Rumah Puisi diresmikan bersama Museum Sastra Indonesia, menjadikannya pusat rujukan literasi dan arsip puisi modern. Ini juga menjadi tempat ziarah intelektual bagi pelajar dan sastrawan muda.
Meski usianya terus menua, Taufiq tetap tampil sebagai pembicara, pembina lomba puisi, juri, dan penulis esai kebudayaan.
Ia dihormati oleh komunitas-komunitas sastra, dari kampus besar hingga madrasah pelosok. Ia selalu mendorong penulis muda agar berani menyuarakan kebenaran, tak malu menulis puisi, dan tetap merawat bahasa Indonesia dengan cinta.
Dalam banyak wawancara, ia tak lelah menyampaikan pesan bahwa sastra bukan sekadar estetika, tapi juga sikap dan tanggung jawab.
Ia mewariskan semangat bahwa menulis adalah ibadah—ibadah terhadap akal, sejarah, dan kebenaran.
Kritik terhadap Karya dan Figur Taufiq Ismail
Sebagai figur besar, Taufiq tak luput dari kritik. Ada yang memujinya setinggi langit, tapi ada juga yang menyoal beberapa aspek dari karya dan sikapnya.
Beberapa kritikus menilai puisinya terlalu retoris, lebih mirip pidato ketimbang puisi. Gaya langsung dan bombastis kadang dianggap mengurangi kedalaman metafora dan keheningan puisi.
Tapi justru di situlah karakter khas Taufiq—ia bicara keras karena kondisi bangsa memanggil suara itu.
Karena lahir dari Manikebu, Taufiq sering dianggap mewakili posisi ideologis kanan dalam sejarah sastra Indonesia.
Ia dikenal keras terhadap ide-ide Marxis dalam sastra, dan itu memicu kritik dari kelompok kiri atau pasca-kiri yang lebih plural.
Puisi-puisinya yang menyerang komunisme kadang dianggap mengabaikan keragaman sudut pandang sejarah.
Dalam Simposium Nasional Tragedi 1965, ia bahkan sempat dihentikan saat membaca puisi karena dianggap memprovokasi.
Peristiwa itu mencerminkan betapa puisinya tetap mengandung muatan ideologis yang membelah opini publik.
Isu yang paling memukul reputasinya muncul ketika puisi “Kerendahan Hati” dinilai menjiplak karya penyair Amerika Douglas Malloch berjudul Be the Best of Whatever You Are.
Meski sebagian pembela menyebutnya sebagai “adaptasi bebas”, namun tuduhan ini mencederai integritas penyair yang selama ini dikenal menjunjung tinggi kejujuran literasi.
Taufiq sendiri tak banyak memberikan klarifikasi terbuka, yang membuat ruang debat tetap terbuka.
Meski bukan satu-satunya penyair yang pernah terjerat tuduhan plagiarisme, kasus ini jadi pengingat bahwa reputasi literasi tak hanya dibangun oleh karya, tapi juga oleh etika.
Sebagian akademisi melihat Taufiq terlalu dominan dalam peta sastra sekolah. Karyanya terlalu sering masuk buku ajar, sementara banyak penyair muda atau kontemporer yang lebih eksperimental tak diberi ruang.
Kritik ini menyentuh aspek distribusi wacana sastra yang dianggap kurang beragam.
Namun, hal ini juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Taufiq dalam dunia pendidikan dan kurikulum.
Taufiq Ismail adalah tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia. Ia penyair, penggerak, pembina, sekaligus pemikir.
Puisinya adalah catatan sejarah sosial, teriakan nurani, dan ajakan refleksi.
Namun seperti semua tokoh besar, ia tak bebas dari kritik. Tapi justru di situlah kekuatan seorang penyair diuji—bukan hanya pada pujian, tapi bagaimana ia dihadapkan pada tafsir dan perdebatan.
Warisan Taufiq Ismail bukan hanya dalam bentuk bait dan buku, tetapi dalam semangat, bahwa sastra bisa mengubah nasib bangsa, bahwa kata-kata bisa menjadi pelita.
Dan di antara puing-puing zaman yang gaduh, suara puisinya masih terdengar lantang, berani, dan jujur. []
Narakata Team
Posting Komentar untuk "Layakkah Taufiq Ismail Disebut Bapak Sastra Indonesia? | Catatan 90 Tahun Penyair Taufiq Ismail"
Posting Komentar