Mengenal Rumah Masa Kecil Buya Syafii Maarif
Jejak Sejarah Buya Syafii Maarif di Rumah Masa Kecilnya, Dari Sumpur Kudus untuk Indonesia
![]() |
Suasana rumah dari depan, sumber foto: Jumaldi Alfi |
Di balik nama besar Buya Syafii Maarif sebagai tokoh bangsa, cendekiawan Muslim, dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah, ada sebuah kampung kecil yang tenang di Sumatera Barat, Sumpur Kudus, tepatnya di Jorong Calau, Nagari Sumpur Kudus Selatan, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.
Di sinilah akar sejarah dan nilai-nilai kehidupan Buya tumbuh di sebuah rumah gadang sederhana, berdiri di tepi sungai Batang Sumpur, dikelilingi bukit dan sawah yang hijau.
Rumah Gadang, Rumah Kenangan
Rumah masa kecil Buya Syafii bukan rumah biasa. Ia adalah rumah gadang khas Minangkabau, warisan keluarga ayahnya (dalam adat disebut “bako”).
Dibangun tahun 1925, rumah kayu berukuran sekitar 6x6 meter ini berdiri dengan ciri khas Minang, atap bergonjong, dinding papan, dan lantai kayu yang sejuk di pagi hari.
Buya kecil—yang ditinggal ibunya saat masih berusia 1,5 tahun—dibesarkan di rumah itu hingga usia 13 tahun. Dari sinilah ia belajar berjalan, mengaji, bermain di sungai, dan mengenal arti gotong royong.
Rumah itu bukan hanya tempat tinggal, tapi juga pusat kehidupan sosial, tempat tetua adat bermusyawarah, dan tempat anak-anak kampung berkumpul.
Kini, rumah gadang itu masih berdiri. Meskipun telah melewati usia hampir satu abad, bentuk aslinya masih dijaga.
Beberapa bagian memang diperbaiki, tapi nuansa lamanya masih utuh, rumah yang bersahaja, tapi penuh cerita.
Dari Rumah ke Museum
![]() |
Bagian dalam rumah penuh dengan foto-foto. Sumber foto: Jumaldi Alfi |
Pada September 2022, rumah ini diresmikan menjadi Museum Rumah Kelahiran Buya Syafii Maarif oleh Pemerintah Kabupaten Sijunjung bersama Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
Museum ini memamerkan benda-benda peninggalan masa kecil Buya: tempat tidur kayu, lemari tua, foto-foto keluarga, serta dokumentasi perjalanan hidupnya.
Ruangan-ruangannya tetap dibuat sederhana, mengikuti bentuk aslinya. Tapi dari kesederhanaan itu, terpancar keteguhan dan semangat seorang anak kampung yang kelak menjadi guru bangsa.
Peresmian museum ini bukan hanya bentuk penghormatan, tapi juga penanda bahwa Sumpur Kudus telah menyumbangkan seorang tokoh penting dalam sejarah intelektual dan moral bangsa Indonesia.
Sumpur Kudus, Alam, Tradisi, dan Kearifan Lokal
Jorong Calau berada di lembah yang sejuk. Sungai Batang Sumpur mengalir pelan di belakang rumah. Sungai ini bukan hanya tempat bermain anak-anak, tapi juga bagian dari tradisi.
Salah satunya adalah lubuk larangan—kawasan sungai yang dikonservasi bersama oleh masyarakat, tempat ikan-ikan dibiarkan tumbuh dan tidak boleh ditangkap sembarangan.
Tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Minang menjaga harmoni dengan alam sejak dulu.
Permukiman di Nagari Sumpur Kudus Selatan memanjang mengikuti jalur nagari. Ada tiga jorong: Calau, Uncang Labuah, dan Kampung Baru.
Di sana berdiri sekolah dasar, tiga masjid, empat mushala, serta surau-surau tempat anak-anak mengaji dan belajar adat.
Kehidupan sosial masyarakatnya erat. Budaya saling bantu, gotong royong, dan musyawarah masih kental. Di lingkungan semacam inilah Buya kecil tumbuh—lingkungan yang menanamkan nilai-nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan rasa hormat kepada ilmu dan orang tua.
Rumah yang Pernah Menjadi Markas PDRI
Tak banyak yang tahu, rumah ini juga memiliki jejak penting dalam sejarah nasional. Saat agresi militer Belanda II tahun 1948–1949, rumah ini menjadi tempat singgah Mr. Syafruddin Prawiranegara, pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa ke pedalaman Sumatera Barat.
Di rumah gadang Buya Syafii, Syafruddin dan timnya pernah beristirahat dalam perjalanan bergerilya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Rumah itu digunakan sebagai pos perhubungan dan tempat pengamanan strategis.
Kini, di depan rumah berdiri sebuah tugu kecil, menjadi penanda bahwa rumah itu bukan hanya tempat lahir seorang tokoh, tapi juga situs perjuangan republik.
Dari Sumpur Kudus untuk Indonesia
![]() |
Foto Buya Syafii saat masih muda. Sumber foto: Jumaldi Alfi |
Transformasi rumah kecil menjadi museum adalah bukti bahwa sejarah tidak harus lahir dari tempat megah.
Dari sebuah kampung terpencil, seorang anak kampung bernama Ahmad Syafii Maarif tumbuh menjadi pemikir Islam modern, penulis produktif, aktivis, pendidik, dan penyampai pesan perdamaian.
Bagi masyarakat Sumpur Kudus, keberadaan museum ini bukan sekadar kebanggaan. Ia menjadi titik balik kesadaran sejarah.
Anak-anak yang kini bermain di sungai Batang Sumpur punya alasan untuk bermimpi tinggi. Mereka bisa berkata, “Buya saja dari kampung ini, kenapa kita tidak bisa?”
Tak hanya masyarakat lokal, wisatawan dan pelajar dari luar pun mulai datang. Mereka ingin melihat jejak kehidupan Buya, merasakan suasana rumah gadang, dan belajar dari nilai-nilai hidup yang ia wariskan: jujur, sederhana, gigih belajar, dan cinta tanah air.
Rumah yang Terus Bicara
Rumah masa kecil Buya Syafii Maarif bukan rumah yang besar. Tapi dari dalamnya, lahir gagasan-gagasan besar yang ikut membentuk wajah Indonesia modern.
Rumah itu menjadi cermin bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh kemewahan, tapi oleh nilai-nilai yang ditanam sejak kecil.
Kini, saat matahari pagi menembus celah papan rumah gadang di Calau, sejarah tetap hidup di sana.
Di lantai kayu yang pernah diinjak kaki kecil Buya, di sungai yang dulu ia ceburkan diri, dan di langit Sumpur Kudus yang biru, kita bisa membaca satu pelajaran penting: bahwa dari rumah sederhana pun, Indonesia bisa mendapat pencerah. []
Posting Komentar untuk "Mengenal Rumah Masa Kecil Buya Syafii Maarif"
Posting Komentar