Sahabat Buku Blitar Bukan Komunitas
Di dunia literasi Blitar, nama Ahmad Fahrizal Aziz sudah seperti catatan kaki yang selalu muncul di setiap gerakan. Hampir setiap inisiatif literasi di kota kecil ini—entah berbentuk forum, paguyuban, atau komunitas—pernah disentuh oleh tangannya. Karena itu, ketika ia meluncurkan “Sahabat Buku Blitar”, banyak yang mengira itu komunitas baru. Namun ternyata, bukan.
“Sahabat Buku Blitar bukan komunitas, cuma wadah untuk menampung konten tentang buku,” ujarnya suatu kali dengan nada ringan. Namun di balik kesederhanaan kalimat itu, tersimpan pengalaman panjang seorang pegiat literasi yang telah menempuh jalan panjang dalam dunia kata, ide, dan gerakan sosial.
Jejak Panjang dari Forum ke Forum
Fahrizal bukan nama baru. Sejak 2008, ia sudah ikut mendirikan Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Blitar, komunitas yang saat itu menjadi pionir dalam menggabungkan dua hal penting: kegemaran membaca dan semangat menulis. FLP Blitar menjadi wadah pertama bagi anak-anak muda yang ingin belajar menulis sastra, artikel, maupun opini dengan nafas keislaman dan keilmuan.
Dari situ, ia tak berhenti. Tahun 2014, Fahrizal mendirikan Paguyuban Srengenge, sebuah wadah kajian yang lebih luas cakupannya. Srengenge tak hanya membahas buku, tetapi juga menggelar diskusi keislaman, kebangsaan, dan toleransi. Setiap pertemuan diisi dengan tadarus pemikiran tokoh—dari Sukarni, Tan Malaka, hingga Soe Hok Gie—dalam suasana yang santai namun berbobot.
Empat tahun berselang, pada 2018, lahirlah Komunitas Muara Baca. Uniknya, komunitas ini bukan hanya untuk para kutu buku, tetapi justru bagi mereka yang tidak suka membaca. Fahrizal menyadari bahwa tidak semua orang nyaman dengan teks tebal dan istilah berat. Maka ia menciptakan ruang di mana buku bisa “diceritakan” lewat diskusi ringan, tanpa harus mengharuskan setiap orang membaca dulu. Sebuah terobosan yang membuat literasi terasa lebih inklusif.
Dari Gerakan ke Kelembagaan
Pada 2020, kiprahnya semakin meluas ketika ia tergabung di Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Blitar, wadah resmi para aktivis literasi di Blitar Raya. Di situ, Fahrizal dipercaya menjabat Sekretaris I, posisi strategis yang menghubungkan para pegiat, komunitas, dan lembaga pendidikan.
Di bawah naungan GPMB inilah lahir Suara Sastra, sebuah ruang kreatif bagi penulis dan pembaca muda. Fahrizal menjadi salah satu penggerak inti, mendorong kegiatan seperti baca puisi, bedah buku, dan penerbitan antologi karya lokal. Ia dikenal sebagai sosok yang tak banyak bicara tentang pencapaian pribadi, tetapi selalu hadir dalam kerja-kerja senyap: menulis naskah, mengedit buku, atau memfasilitasi diskusi tanpa banyak publikasi.
Lahirnya “Sahabat Buku Blitar”
Maka ketika ia memperkenalkan “Sahabat Buku Blitar” di media sosial, wajar banyak orang mengira itu lanjutan dari sederet komunitas yang telah ia dirikan. Namun ternyata, Sahabat Buku Blitar hanyalah proyek pribadi—sebuah “laboratorium kecil” tempat ia menulis ulasan, kutipan, dan catatan reflektif tentang buku.
“Saya sudah cukup lama berkomunitas, sekarang ingin menikmati dunia buku lewat konten saja,” katanya suatu waktu. Di usia yang semakin matang, Fahrizal tampak lebih memilih jalur sunyi: menulis, membaca, dan mengolah pengalaman literasi ke dalam tulisan yang bisa dinikmati siapa saja.
Ia menegaskan bahwa menggerakkan komunitas adalah hal mulia, apalagi jika tujuannya menumbuhkan minat baca. Tetapi, kata dia, “jangan sampai sibuk menggerakkan orang lain, lalu lupa memperkaya literasi diri sendiri.”
Pernyataannya terdengar sederhana, tapi punya bobot reflektif. Banyak aktivis literasi yang begitu sibuk membuat acara, membuka lapak buku, dan menyiapkan agenda, hingga lupa membaca buku itu sendiri. Fahrizal menyoroti fenomena itu dengan gaya khasnya: humoris tapi menohok.
“Kadang ngajak orang cinta buku, eh malah lupa baca buku. Sibuk buka lapak buku, tapi gak sempat baca buku,” ujarnya sambil tertawa.
Literasi Sebagai Jalan Hidup
Bagi Ahmad Fahrizal Aziz, literasi bukan sekadar kegiatan, tapi cara hidup. Ia tumbuh dalam tradisi membaca dan berdiskusi, dan meyakini bahwa buku bukan hanya benda mati di rak, melainkan teman berpikir yang hidup. Karena itu, lewat Sahabat Buku Blitar, ia mencoba menjembatani dunia buku dengan dunia digital.
Konten yang ia unggah di platform itu bukan sekadar resensi, tapi juga renungan. Kadang berupa kutipan pendek, kadang ulasan ringan tentang gagasan seorang penulis. Ia menulis bukan untuk memamerkan, melainkan untuk menghidupkan kembali kebiasaan membaca di tengah budaya scroll yang dangkal.
Meski “Sahabat Buku Blitar” terkesan iseng, di tangan Fahrizal ia menjadi cermin kesetiaan seorang pegiat literasi yang tidak pernah benar-benar berhenti bergerak. Hanya bentuknya saja yang berubah: dari ruang fisik ke ruang digital, dari komunitas ke konten, dari forum diskusi ke tulisan reflektif.
Dari Aktivisme ke Kontemplasi
Jika dua dekade lalu ia dikenal sebagai penggerak, kini ia lebih tampak sebagai penyaksi dan pengarsip. Ia tidak lagi mengumpulkan massa, tapi mengumpulkan makna. Ia tidak lagi mengatur agenda kegiatan, tapi menata ulang cara pandang terhadap buku dan kehidupan.
Dan mungkin, di situlah inti perjalanan Ahmad Fahrizal Aziz: bahwa literasi sejati bukan hanya tentang ramai-ramai membaca, tapi juga tentang kesunyian saat memahami.
“Buku dan menulis adalah dunia yang sangat saya cintai,” katanya menutup percakapan.
Mungkin memang benar, bagi sebagian orang, literasi adalah gerakan. Tapi bagi Ahmad Fahrizal Aziz, literasi adalah napas. Dan karena itu, ia tak akan pernah benar-benar berhenti menulis—hanya mengganti caranya.
