Suatu Saat Kita Akan Rindu Masakan Ibu
Cerpen Namia
Pagi itu Inez berangkat lebih awal dari biasanya. Jakarta baru saja hujan, aspal di Jalan Abdul Muis masih lembap dan menyisakan genangan kecil.
Ia menyampirkan tas selempang di bahu kiri, satu tangan memegang map berisi gambar rancangan rumah tipe menengah untuk proyek klien baru firma tempatnya bekerja—sebuah perusahaan arsitektur di bilangan Tanah Abang yang mengurus segala hal dari desain interior sampai manajemen proyek.
Dia sudah enam bulan di sana. Usianya baru dua puluh tiga tahun, tapi sudah terbiasa dengan tenggat yang ketat, revisi berulang, dan lembur sampai malam.
Di meja kerjanya ada gelas kopi dingin yang tidak pernah habis diminum, dan kertas kalkir yang berserakan seperti sisa-sisa pertempuran.
Kadang ia merasa semua ini terlalu cepat, baru kemarin rasanya masih di rumah, sarapan sayur lodeh sambil mendengar ibunya menyalakan radio, lalu sekarang ia duduk di ruang rapat berpendingin udara, berdiskusi dengan rekan kerja soal bentuk jendela dan arah matahari.
Pagi itu, sebelum ke lokasi proyek di Petojo, ia memutuskan mencari sarapan. Di ujung gang, ia melihat sebuah warung kecil dengan papan bertuliskan Warung Bu Ratmi — Masakan Jawa Asli.
Dari depan tampak sederhana, dengan meja kayu yang mengilap karena minyak goreng, dan kursi plastik yang warnanya mulai pudar. Tapi aroma yang keluar dari dapurnya membuat langkah Inez berhenti.
Ada bau tumisan bawang merah, sambal yang baru diulek, dan kuah sayur bening yang mengingatkannya pada sesuatu.
Ia duduk, memesan sepiring nasi, tempe orek, dan sayur asem. Saat sendok pertama masuk ke mulut, sesuatu di dadanya seperti meledak pelan, rasa yang familiar, rasa yang membuatnya ingin pulang.
Dia tiba-tiba ingat dapur di rumah, ibu yang memasak dengan daster bermotif bunga, kompor gas yang kadang ngadat, dan Akbar—adik laki-lakinya—yang selalu mencicipi lauk duluan.
Sejenak ia diam. Hujan kecil turun lagi, menetes di seng warung dan menambah sunyi pagi itu.
“Bu, ini sayur asemnya enak banget,” katanya pelan.
Bu Ratmi tersenyum, “Resep turun-temurun, Nak. Dulu diajarin ibu saya.”
Inez mengangguk. Ia tidak tahu kenapa matanya berkaca-kaca. Mungkin karena rasa masakan itu sama seperti yang ibunya buat dulu.
Dalam hati ia berjanji, tahun ini harus pulang pas Lebaran. Sudah cukup merantau dengan perut yang selalu rindu.
***
Sementara itu, ribuan kilometer dari Jakarta, di sebuah kota industri di Korea Selatan, Akbar menatap pipa baja yang sedang dilas rekannya.
Percikan api menari di udara. Suhu di dalam pabrik itu seperti neraka kecil, dan bau logam terbakar menempel di bajunya setiap hari.
Dia sudah hampir setahun di sana, bekerja di pabrik baja yang memproduksi bahan untuk konstruksi gedung-gedung tinggi.
Gajinya lumayan, tapi rasa sepi tak pernah hilang. Ia tinggal di asrama pekerja, kamar sempit dengan dua ranjang tingkat, satu jendela kecil, dan kalender yang digantung di dinding—kalender Indonesia yang ia bawa dari rumah, bergambar pemandangan sawah dan gunung.
Siang itu, saat jam istirahat, Akbar duduk di kantin. Menu hari itu: kimchi, nasi, dan daging sapi pedas. Ia menatapnya lama, lalu makan perlahan tanpa selera.
“Enak?” tanya temannya dari Filipina.
Akbar mengangkat bahu. “Lumayan,” jawabnya, meski dalam hati ia ingin berkata: Aku bosan makan ini setiap hari.
Malam harinya, di kamar, ia membuka ponsel dan melihat foto lama ibu sedang menjemur pakaian di halaman belakang.
Di meja teras ada panci besar berisi sayur asem dan ikan pindang. Foto itu diambil dua tahun lalu, tapi rasanya seperti kemarin.
Ia bisa membayangkan rasanya kuah bening yang sedikit asam, pedas ringan, ikan pindang yang asin gurih. Ia bisa membayangkan ibunya memanggil, “Bar, makan dulu, nanti keburu dingin!”
Akbar menutup mata. Kadang, rasa rindu muncul tanpa alasan. Tapi malam itu, alasan itu jelas, perutnya lapar, dan yang dirindukannya bukan hanya makanan, tapi kehangatan di baliknya.
***
Di rumah, ibu mereka kini tinggal bersama bibinya. Rumah itu sudah jarang ramai.
Dulu setiap pagi terdengar suara sendok beradu dengan piring, suara radio yang memutar lagu-lagu lawas, dan tawa dua anaknya yang berebut air panas di kamar mandi.
Sekarang, yang terdengar hanya suara ayam tetangga dan gemericik air dari sumur.
Kadang ibu duduk di teras sambil menatap jalan depan rumah, berharap ada motor berhenti.
Di dapur, ia tetap memasak seperti biasa—sayur asem, tempe goreng, sambal terasi.
“Buat siapa, Mbakyu?” tanya bibinya.
“Buat siapa lagi. Buat mereka yang belum pulang,” jawab ibu, lalu tersenyum, meski matanya basah.
***
Waktu berjalan. Di Jakarta, Inez mulai terbiasa dengan tekanan kerja dan rapat panjang. Tapi tiap kali ia makan di luar, lidahnya selalu mencari rasa yang sama.
Ia pernah mencoba restoran mahal di Senopati, tapi semuanya terasa datar. Ia menyadari bahwa yang membuat makanan enak bukan resep, tapi tangan yang memasak dengan cinta.
Di Korea, Akbar semakin ahli bekerja dengan mesin. Gajinya mulai naik. Tapi setiap malam ia menulis pesan di catatan ponselnya: Kalau pulang nanti, aku mau makan di dapur. Mau duduk di lantai, makan pakai tangan, dan minum teh hangat buatan ibu.
Kadang-kadang ia dan Inez saling kirim pesan.
“Aku kangen masakan ibu,” tulis Inez.
“Aku juga,” jawab Akbar.
“Mungkin kita harus pulang bareng Lebaran nanti.”
“Semoga bisa, Nes. Aku juga udah nggak kuat makan kimchi tiap hari.”
Pesan itu diakhiri dengan emoji tertawa. Tapi di balik tawa digital itu, ada sepi yang sama.
***
Suatu hari nanti, mereka akan pulang. Mungkin tidak tahun ini, mungkin tidak tahun depan. Tapi pada akhirnya, setiap anak akan kembali mencari rumah—bukan hanya bangunan dengan tembok dan atap, tapi aroma dapur yang mereka kenal sejak kecil.
Dan di rumah itu, seorang ibu akan tetap memasak. Ia akan menyiapkan sayur asem, ikan pindang, dan nasi hangat.
Ia tidak tahu kapan anak-anaknya pulang, tapi ia tahu setiap masakannya adalah doa yang dikirim lewat aroma.
Karena sejauh apapun seseorang pergi, tak ada yang benar-benar bisa melupakan rasa masakan ibu.
Dan pada suatu saat, kita semua akan rindu itu. []

