Selamat Datang di Nara Kata Media

Sajian Sastra, Budaya, dan Pemikiran Kritis

Sapardi Djoko Damono. Iman kepada Kata, Kesetiaan kepada Puisi



PROLOGUE
Duka manusia masih terus terdengar
Malam pun sesaat terhenti sewaktu dingin pun terdiam, di luar langit yang membayang samar
Pada hari itu, hari terjadinya pembunuhan pertama oleh manusia
Segalanya seakan berhenti, bahkan langit tampak tidak terlalu jelas warnanya
(Sapardi Djoko Damono, "Prologue", pembuka buku Duka-Mu Abadi, 1969)

Sapardi Djoko Damono adalah salah satu sastrawan terbesar Indonesia, seorang penyair yang menjadikan kata-kata sederhana sebagai ladang keabadian. 

Puisinya meresap ke hati, menyentuh relung terdalam manusia. Lahir di Solo pada 20 Maret 1940, Sapardi tumbuh di tengah krisis dan ketegangan sejarah, namun memilih jalan sunyi menulis puisi.

***

Karya debut Sapardi, Duka-Mu Abadi, terbit pada tahun 1969 saat ia berusia 29 tahun. Kumpulan puisi ini segera mencuri perhatian dunia sastra Indonesia. 

"Prologue" sebagai pembuka buku, memperlihatkan kecenderungan Sapardi pada puisi yang eksistensial, sunyi, dan meditatif. 

Dalam buku ini, tampak benih estetika lirismenya yang kelak menjadi ciri khas sepanjang kariernya.

Tumbuh dalam Keterbatasan dan Imajinasi

Sapardi adalah anak pertama dari Sadyoko, seorang abdi dalem keraton dan pembuat wayang kulit, dan Sapariyah, ibu rumah tangga dari keluarga berada yang jatuh miskin akibat perang. Masa kecil Sapardi dihiasi dengan kelangkaan makanan, pindah-pindah tempat tinggal, dan ketakutan akan bom serta kebakaran akibat konflik pasca-kemerdekaan. Namun justru dari keterbatasan itu, imajinasi Sapardi tumbuh subur.

Sebagai anak kampung di Ngadiyan, ia lebih sering diam dan menyendiri. Tak banyak teman bermain. Ia lebih senang menatap awan dan membiarkan pikirannya keluyuran. Dalam suasana sunyi dan terpencil, jiwa puisinya perlahan terasah. Di sanalah bibit liris dan meditatif dalam puisinya mulai tumbuh.

***

Sapardi mengenyam pendidikan menengah di SMA Negeri 2 Surakarta (Margoyudan), dan mulai menulis puisi serta mengirimkannya ke majalah kebudayaan. 

Setelah lulus SMA tahun 1958, ia melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Barat (sastra Inggris) di Universitas Gadjah Mada. Di kampus inilah, dunia sastra kian menyatu dalam hidupnya.

Ia menerjemahkan puisi-puisi asing, membaca karya Shakespeare, T.S. Eliot, hingga penyair klasik Persia dan Cina. 

Studi ini memperkuat teknik kepenyairannya dan memperluas horizon estetikanya. Ia sempat mengikuti studi ke University of Hawaii, Amerika Serikat, dan menyelesaikan doktoralnya di Universitas Indonesia.

Sejak 1974, Sapardi menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada 1995, ia resmi diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Susastra dan menjabat sebagai dekan hingga 1999. 

Gelar profesor bukan hanya pengakuan akademik, tetapi juga simbol kehadirannya sebagai intelektual dalam dunia sastra Indonesia.

***

Sapardi menolak mitos inspirasi. Baginya, menulis adalah soal niat, bukan ilham mendadak. 

“Saya tidak percaya pada inspirasi. Saya percaya pada niat,” ujarnya. 

Inspirasi datang setelah kerja keras, membaca, dan keterampilan mengolah bahasa.

Ia juga menekankan pentingnya jarak emosional. Puisi, kata Sapardi, tidak ditulis saat emosi sedang tinggi. Ia menulis ketika hati sudah tenang, agar kata-kata bisa jernih. 

Ia setia pada kata, bahkan menyebutnya sebagai "iman". “Iman saya adalah kata. Menulis adalah menyampaikan sesuatu lewat kata.”

Sapardi menerbitkan lebih dari 30 buku, terdiri dari puisi, novel, esai, serta terjemahan. Di antaranya:

  • Duka-Mu Abadi (1969)
  • Mata Pisau (1974)
  • Perahu Kertas (1983)
  • Sihir Hujan (1984)
  • Hujan Bulan Juni (1994)
  • Ayat-Ayat Api (2000)
  • Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002)
  • Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012)
  • Suti (2015)
  • Pingkan Melipat Jarak (2017)
  • Yang Fana Adalah Waktu (2018)

Karyanya yang paling dikenal luas adalah Hujan Bulan Juni, yang tak hanya menjadi puisi populer, tapi juga novel dan film.

Sapardi dikenal dengan gaya puitik yang khas dan konsisten:

  1. Bahasa Sederhana: Ia menggunakan kata-kata yang akrab dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Simbolisme Alam: Hujan, daun, angin, langit, adalah simbol perasaan dan pemikiran.
  3. Nada Liris dan Melankolis: Puisinya sering tenang, romantis, dan kontemplatif.
  4. Bebas Pola Tradisional: Ia tidak terikat oleh bentuk rima klasik.
  5. Multiinterpretasi: Puisinya terbuka untuk penafsiran pembaca.

Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;

***

Sapardi meninggal pada 19 Juli 2020. Namun pengaruhnya tetap mengalir. Puisinya dibacakan, dilagukan, dipentaskan, dan dipelajari. 

Ia memberi wajah baru bagi puisi Indonesia: lembut, dalam, dan manusiawi. Generasi baru penyair banyak yang terinspirasi dari gayanya yang jujur dan tidak menggurui.

Ia adalah bukti bahwa puisi tak harus sulit. Bahwa kesetiaan kepada kata, ketekunan menulis, dan keberanian untuk jujur adalah bentuk tertinggi dari keberaksaraan. Sapardi adalah suara yang tidak berteriak, namun menggema sampai jauh.

“Saya akan menulis sampai mati,” katanya suatu hari. Dan ia menepatinya.

Referensi: Wikipedia, Kompas, Gramedia, Tempo, Bisnis, Zenius, dan berbagai arsip online lainnya.

Narakata Team

Posting Komentar untuk "Sapardi Djoko Damono. Iman kepada Kata, Kesetiaan kepada Puisi"