Selamat Datang di Nara Kata Media

Sajian Sastra, Budaya, dan Pemikiran Kritis

Polemik Parkiran Rp 21 Miliar di Yogyakarta, Ketika Sabda Sultan Dipertanyakan oleh Suara Rakyat


Parkiran Abu Bakar Ali (ABA) di kawasan Malioboro, Yogyakarta, tengah menjadi sorotan publik. Bangunan bertingkat yang berdiri sejak 2013 dengan dana hingga Rp 21 miliar itu kini digusur. 

Pemerintah memutuskan tidak memperpanjang izin penggunaan lahan, dan memilih mengembalikannya ke Kesultanan Yogyakarta untuk dijadikan ruang terbuka hijau. 

Namun, di balik keputusan administratif ini, tersimpan keresahan mendalam dari para pekerja dan pedagang kecil yang telah menggantungkan hidup di sana selama lebih dari satu dekade.

Lahan parkir ABA berdiri di atas tanah Sultan Ground, dengan izin pemanfaatan terbatas (kekancingan) yang secara resmi akan berakhir pada tahun 2025. 

Pemerintah Kota Yogyakarta tidak berniat memperpanjang kekancingan itu. Sebaliknya, mereka ingin menyelaraskan kembali kawasan tersebut dengan konsep sumbu filosofi Yogyakarta, yakni garis sakral yang membentang dari Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, hingga Pantai Selatan. 

Proyek ini terkait langsung dengan pengajuan status Warisan Dunia UNESCO untuk kawasan tersebut. Tidak boleh ada bangunan yang mengganggu nilai kultural, ekologis, dan spiritual kawasan, termasuk gedung parkiran ABA.

Namun keputusan yang bernuansa kebudayaan itu memunculkan perdebatan sosial. Bagi para pengambil kebijakan, keputusan ini adalah bagian dari tata kota dan pelestarian warisan budaya. 

Tapi bagi ratusan orang yang selama ini bekerja di ABA, keputusan itu terasa seperti petaka. Mereka bukan hanya kehilangan tempat berdagang atau mengatur kendaraan, tapi kehilangan ruang hidup. 

Banyak di antara mereka adalah warga lanjut usia, ibu rumah tangga, atau pekerja informal yang sulit mendapatkan pekerjaan lain.

Slamet, salah satu petugas kebersihan di TKP ABA, mengungkapkan kesedihannya. Setiap hari selama bertahun-tahun, ia menyapu dan menjaga kebersihan parkiran itu. 

Meski gajinya tak besar, pekerjaan itu cukup untuk menghidupi keluarganya. Sekarang, ia tak tahu harus ke mana. 

Sementara itu, Bu Warni, seorang pedagang oleh-oleh, mengatakan bahwa pelanggan-pelanggannya kebanyakan wisatawan yang turun dari bus di parkiran ABA. 

Jika dipindah, ia khawatir takkan bisa bertahan. Cerita mereka hanyalah dua dari ratusan kisah yang sama getirnya.

Pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan solusi relokasi. Para pedagang akan dialihkan ke kawasan Menara Kopi Kota Baru, sementara bus wisata yang biasanya parkir di ABA akan diarahkan ke Terminal Ngabean. 

Untuk juru parkir, ada opsi pekerjaan di titik-titik lain. Bahkan biaya sewa tempat di lokasi relokasi akan dibebaskan sementara waktu. 

Namun, banyak warga menilai langkah ini belum menjawab sepenuhnya kecemasan mereka. Relokasi bukan hanya soal tempat, tapi soal ritme ekonomi yang telah terbentuk puluhan tahun. Mengubahnya bukan perkara mudah.

Walikota Yogyakarta pun turun langsung bertemu warga terdampak. Dalam pertemuan itu, ia tak kuasa menahan air mata ketika mendengar keluh kesah para pekerja ABA. 

Pemerintah kota mengaku berada dalam posisi sulit: di satu sisi harus menjaga komitmen budaya, di sisi lain tak ingin mencederai kehidupan rakyat kecil. 

Sultan Hamengkubuwono X sendiri telah menyampaikan bahwa pengembalian tanah kepada Kesultanan tak boleh menimbulkan penderitaan bagi warga. 

Namun ketika proses penertiban mulai dilakukan sejak April 2025 dan pemagaran selesai Juni lalu, para pedagang merasa tak punya pilihan selain pasrah.

Momen ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat: jika sultan telah "bersabda", apakah suara rakyat tetap punya ruang untuk didengar? 

Apakah narasi pelestarian budaya harus selalu dimenangkan, bahkan ketika ada rakyat yang kehilangan pekerjaan dan tempat hidup? 

Warga yang terdampak tak menolak penataan kota, namun mereka berharap tidak disisihkan begitu saja dari ruang publik yang selama ini mereka rawat bersama.

Lebih dari sekadar konflik lahan, kisah parkiran Abu Bakar Ali memperlihatkan betapa pentingnya sensitivitas sosial dalam setiap proyek penataan kota. 

Nilai-nilai budaya yang diagungkan dalam sumbu filosofi harus sejalan dengan rasa keadilan sosial. Kebijakan yang luhur akan kehilangan maknanya jika mengorbankan yang lemah. 

Suara rakyat kecil bukan sekadar riak yang bisa diredam, tapi pantulan dari wajah kota yang sesungguhnya.

Video dokumenter berdurasi hampir 13 menit dari Kompas.com berhasil menangkap semua nuansa ini. 

Kamera mereka menyorot wajah-wajah cemas, suara-suara lirih yang mempertanyakan masa depan, hingga momen emosional di hadapan pejabat. 

Polemik ini belum berakhir. Parkiran ABA mungkin akan benar-benar hilang dari peta Malioboro, tapi ingatan tentangnya akan tetap hidup—baik sebagai catatan sejarah pembangunan kota maupun sebagai pengingat bahwa ruang publik adalah milik bersama. 

Ketika kota ingin menatap masa depan, ia harus melibatkan semua warganya, bukan hanya mendengarkan sabda dari singgasana. Karena dalam kota yang adil, suara rakyat tidak pernah dianggap angin lalu.

Sumber:
Kompas.com - "Polemik Parkiran Rp 21 M di Yogya: Jika Sultan Sudah ‘Bersabda’, Bolehkah Rakyat Bersuara?"
https://www.youtube.com/watch?v=ZzShlc-_izo
https://video.kompas.com/watch/1859801/polemik-parkiran-rp-21-m-di-yogya-jika-sultan-sudah-bersabda-bolehkah-rakyat-bersuara

Posting Komentar untuk "Polemik Parkiran Rp 21 Miliar di Yogyakarta, Ketika Sabda Sultan Dipertanyakan oleh Suara Rakyat"